Aku meraba hatiku,
Menelusuri ruang yang tak
bercahaya,
Menapaki jejak masa lalu,
Dan itu masih tentang kamu..
Kerinduan itu tabu,
Membuat bibirku kelu,
Hanya berbisik samar,
Hingga hanya bising yang
terdengar..
Aku mengeja namamu,
Hambar,
Kosong,
Dan.. Sesak
Tunggu!
Aku tahu kau tidak berlari
Aku tahu kau tidak diam
Aku tahu kau perlahan pergi
Yang datang akan pergi
Yang pergi mungkin akan kembali
Mungkin
Mungkin
Hingga kata mungkin itu
memberiku harapan
Jakarta, 12 November 2014
Aku kesulitan memejamkan mata malam ini. Rasaya aku
masih ingin terjaga hingga pagi menjelang. Mungkin untuk sebagian orang, mereka
berharap mentari akan terlambat datang, tapi tidak bagiku. Aku tidak pernah
meminta kepada semesta untuk mengulur waktu ataupun menghentikan detik yang
terlanjur bergerak. Bahkan aku tidak memintanya untuk mengembalikan waktu yang
pernah terlewat walau hanya sedetik. Teramat menyakitkan jika harus mengulang
kejadian di masa lalu.
Bagaimana mungkin bisa aku meminta semesta untuk
mengembalikanku pada masa itu. Menghadirkan sosoknya untuk kedua kalinya dengan
kondisi yang sama. Itu mustahil! Walau ketidak mungkinan itulah yang aku
harapkan. Semesta, aku merindukannya. Teramat merindukannya.
Kami tidak pernah mengucap kata selamat tinggal, itu
yang aku ingat. Dia memilih pergi tanpa kata maaf dan mengukir kisah romantis
dengan wanita yang lebih tua usia darinya, yang mungkin bisa menjanjikan
kebahagiaan tanpa batas waktu yang ditentukan. Dibandingkan aku.
Aku masih menyimpan tanda tanya besar untuk kasus ini.
Mengapa semesta menghadirkannya di hidupku jika dengan mudahnya dia membuatku
jatuh cinta pada titik tertinggi rasa yang agung itu, dan seketika tanpa ampun
menjatuhkan hati dan perasaanku pada titik terendahku. Memaksaku mengubur
dalam-dalam akan kasih sayang yang terajut melalui jaring kerinduan. Membiarkan
setiap rindu yang terucap melalui doa terdengar sia-sia.
Semesta tahu aku masih merindukannya tanpa harus aku
katakan. Tapi mengapa dia tidak mengembalikan sosoknya di kehidupanku lagi?
Inikah bukan jodoh, atau mungkinkah aku harus sabar menanti? Berapa lama lagi?
Bodoh, aku meneriakkan pertanyaan yang seharusnya sudah aku tahu jawabannya.
Aku tidak boleh menunggu, aku hanya harus terus berjalalan karena hidupku masih
panjang. Nonsense untuk cinta, jika aku kesulitan berdamai dengan masa lalu.
Aku belajar untuk merelakan apa yang semesta hadirkan
namun tiba-tiba ia rebut lagi. Karena pada hakikatnya dunia ini fana, tidak ada
yang bersifat abadi atau kekal. Begitu juga dia. Aku butuh proses panjang dan
waktu yang tidak sebentar. Mungkin aku butuh sosok baru yang bisa mengubah
haluan kemana arah perasaanku akan berlabuh. Bukan! Bukan untuk menggantikan
sosoknya, tapi sosok baru yang bisa menghidupkan lagi hati yang pernah nyaris
mati. Menyalakan lagi kerinduan yang dulu sempat ingin padam. Semesta,
dengarkan doaku kali ini. Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta dua hal.
Izinkan aku untuk menciptakan kebahagiaan untuk orang-orang yang aku sayangi,
dan izinkan aku untuk dibahagiakan oleh seseorang yang benar-benar mencintaiku,
tidak mempermasalahkan kekuranganku sejak mataku masih sehat untuk melihat
hingga nanti aku menjadi renta secara perlahan.
Aku takkan lagi berambisi untuk bisa memusnahkan
segala tentangnya. Aku melapangkan dada untuk masa lalu yang banyak didominasi
olehnya. Walau ditahun kedua aku masih sering mengeja namanya dalam doa.
Keinginan untuk bertemu, menyaksikan hamparan bunga tulip nan indah di
perkebunan. Bersepeda sepanjang hari sambil tertawa. Berboncengan menaiki vespa
berkeliling kota. Meski aku tahu itu tidak mungkin terjadi di masa sekarang
ataupun masa yang akan datang. Tidakkah kau tahu, keinginan itu yang menguatkan
aku untuk tidak mencarinya. Biarlah ia tetap hidup menjadi sebuah intuisi
terindah. Meski aku kesulitan untuk memilikinya, l a g i :)