Rabu, 12 November 2014

This Letter

Aku meraba hatiku,
Menelusuri ruang yang tak bercahaya,
Menapaki jejak masa lalu,
Dan itu masih tentang kamu..

Kerinduan itu tabu,
Membuat bibirku kelu,
Hanya berbisik samar,
Hingga hanya bising yang terdengar..

Aku mengeja namamu,
Hambar,
Kosong,
Dan.. Sesak

Tunggu!
Aku tahu kau tidak berlari
Aku tahu kau tidak diam
Aku tahu kau perlahan pergi

Yang datang akan pergi
Yang pergi mungkin akan kembali
Mungkin
Mungkin
Hingga kata mungkin itu memberiku harapan


Jakarta, 12 November 2014

Aku kesulitan memejamkan mata malam ini. Rasaya aku masih ingin terjaga hingga pagi menjelang. Mungkin untuk sebagian orang, mereka berharap mentari akan terlambat datang, tapi tidak bagiku. Aku tidak pernah meminta kepada semesta untuk mengulur waktu ataupun menghentikan detik yang terlanjur bergerak. Bahkan aku tidak memintanya untuk mengembalikan waktu yang pernah terlewat walau hanya sedetik. Teramat menyakitkan jika harus mengulang kejadian di masa lalu.
Bagaimana mungkin bisa aku meminta semesta untuk mengembalikanku pada masa itu. Menghadirkan sosoknya untuk kedua kalinya dengan kondisi yang sama. Itu mustahil! Walau ketidak mungkinan itulah yang aku harapkan. Semesta, aku merindukannya. Teramat merindukannya.
Kami tidak pernah mengucap kata selamat tinggal, itu yang aku ingat. Dia memilih pergi tanpa kata maaf dan mengukir kisah romantis dengan wanita yang lebih tua usia darinya, yang mungkin bisa menjanjikan kebahagiaan tanpa batas waktu yang ditentukan. Dibandingkan aku.
Aku masih menyimpan tanda tanya besar untuk kasus ini. Mengapa semesta menghadirkannya di hidupku jika dengan mudahnya dia membuatku jatuh cinta pada titik tertinggi rasa yang agung itu, dan seketika tanpa ampun menjatuhkan hati dan perasaanku pada titik terendahku. Memaksaku mengubur dalam-dalam akan kasih sayang yang terajut melalui jaring kerinduan. Membiarkan setiap rindu yang terucap melalui doa terdengar sia-sia.
Semesta tahu aku masih merindukannya tanpa harus aku katakan. Tapi mengapa dia tidak mengembalikan sosoknya di kehidupanku lagi? Inikah bukan jodoh, atau mungkinkah aku harus sabar menanti? Berapa lama lagi? Bodoh, aku meneriakkan pertanyaan yang seharusnya sudah aku tahu jawabannya. Aku tidak boleh menunggu, aku hanya harus terus berjalalan karena hidupku masih panjang. Nonsense untuk cinta, jika aku kesulitan berdamai dengan masa lalu.

Aku belajar untuk merelakan apa yang semesta hadirkan namun tiba-tiba ia rebut lagi. Karena pada hakikatnya dunia ini fana, tidak ada yang bersifat abadi atau kekal. Begitu juga dia. Aku butuh proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Mungkin aku butuh sosok baru yang bisa mengubah haluan kemana arah perasaanku akan berlabuh. Bukan! Bukan untuk menggantikan sosoknya, tapi sosok baru yang bisa menghidupkan lagi hati yang pernah nyaris mati. Menyalakan lagi kerinduan yang dulu sempat ingin padam. Semesta, dengarkan doaku kali ini. Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta dua hal. Izinkan aku untuk menciptakan kebahagiaan untuk orang-orang yang aku sayangi, dan izinkan aku untuk dibahagiakan oleh seseorang yang benar-benar mencintaiku, tidak mempermasalahkan kekuranganku sejak mataku masih sehat untuk melihat hingga nanti aku menjadi renta secara perlahan.

Aku takkan lagi berambisi untuk bisa memusnahkan segala tentangnya. Aku melapangkan dada untuk masa lalu yang banyak didominasi olehnya. Walau ditahun kedua aku masih sering mengeja namanya dalam doa. Keinginan untuk bertemu, menyaksikan hamparan bunga tulip nan indah di perkebunan. Bersepeda sepanjang hari sambil tertawa. Berboncengan menaiki vespa berkeliling kota. Meski aku tahu itu tidak mungkin terjadi di masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Tidakkah kau tahu, keinginan itu yang menguatkan aku untuk tidak mencarinya. Biarlah ia tetap hidup menjadi sebuah intuisi terindah. Meski aku kesulitan untuk memilikinya, l a g i :)



Senin, 18 Agustus 2014

Dion

Langit malam itu teramat indah, Dion! Lihatlah, sehamparan warna biru pekat dihiasi dengan titik-titik putih terang disana! Bagaikan kanvas putih yang sengaja dipulas biru sedikit warna hitam dan kau bisa membuat titik-titik terang itu sesuka hatimu. Bebas dan lepas, Dion! Bayangkan jika kamu melukiskan kanvas kehidupanmu seperti itu. Mungkin kamu akan semakin sering membeli ribuan judul komik dari berbagai negara. Kamu itu selalu saja memilih komik daripada novel sepertiku. Aku akui sih komik memang lebih variatif karena disuguhi banyak gambar dalam setiap halaman tapi bagiku kurang puas untuk seorang kutu buku. Tulisannya amat sedikit, Dion! Hey, kalau kamu itu langit mungkinkah aku bulannya? Iya, bulan! Bukan sebagai bintang yang jumlahnya jutaan mungkin milyaran. Bulan yang ketika kamu lihat hanya ada satu dalam setiap malam. Mungkinkah itu, Dion? Aku menyukaimu ketika kamu bermandi keringat saat berlatih sepak bola. Aku yang setia menungguimu sampai sedikit tertidur di tribun sambil menggenggam kotak sandwich buatanku. Harusnya kamu memilih basket saja waktu itu. Aku seperti orang melawak ketika seorang diri menunggu pemain sepak bola. Aneh! Kebiasaanmu yang ku ingat - setiap kali kamu berhasil mencetak gol, kamu pasti berlari kearahku dan merentangkan kedua lenganmu seakan hendak memberika ruang untuk aku mendekap. Aku hanya membalasnya dengan juluran lidah dengan mata sedikit menyipit. Ah masa-masa itulah yang aku rindukan. Masa sepuluh tahun lalu. Ketika putih abu-abu teramat sempurna. Kamu akan selalu menungguku digerbang sekolah saat Ayah mengantarkanku dengan sepeda motornya. Setelah ayah berpesan untuk selalu menjagaku dan mengawasiku. Kita akan menyusuri koridor lantai satu menaiki loteng untuk menuju ruang kelas di lantai berikutnya. Sesekali kamu sengaja menggandeng bahuku dan membisikkan selamat pagi. Saat itulah siswa disekitar kita akan meneriaki namamu dan namaku. Kamu itu lucu sekali Dion - mampu menciptakan suasana yang begitu menyenangkan. Menghidupkan pagiku hingga malam menjelang sekalipun. Dion, aku merindukanmu. Merindukanmu entah sejak kapan.
Dion, ditahun pertama kita duduk dibangku SMA, aku sedikit gusar dengan kedekatan kita ini. Kamu pasti tahu istilah Cinta Pertama atau Cinta Monyet atau apalah itu istilah yang biasa mereka bilang sebuah ketertarikan akan lawan jenis saat masa sekolah. Aku sedikit kesal jika menanyakan adakah murid perempuan yang kamu sukai disekolah? Kamu akan menjawabnya dengan sebuah tawa teramat lepas dan menjewer hidungku sampai merah. Menyebalkan Dion sungguh menyebalkan! Aku akan berpura-pura ngambek agar kamu membujukku dengan tingkah konyolmu. Kamu akan mendekatkan posisi dudukmu - lebih dekat - di depanku. Menempelkan telunjuk kananmu dibawah daguku - mengarahkan pandanganku untuk menatap wajahmu - tanpa harus banyak bicara, aku akan tersenyum dan menyubit pinggangmu. Kau semakin tertawa lepas dihadapanku, bahkan kamu bisa menggoyangkan kepalamu seakan kamu sedang dance on the floor. Dasar Dion!
Ditahun kedua di bangku SMA, aku masih setia menunggumu selesai bermain bola seperti biasa tapi tidak dengan sekotak sandwich melainkan hanya sebuah handuk dan sebotol air mineral. Kala itu aku merasa kamu bosan dengan roti isi yang selama setahun lebih aku bawakan untukmu. Benar saja firasatku, kamu mengeluh padaku saat kamu mengantarku pulang. "Renata, aku bisa gemuk kalau makan sandwich darimu ditahun kedua, bisakah kamu menggantinya dengan sebotol air mineral dan sebuah komik?" Itu sih memang maumu, Dion! Aku hanya tersenyum tipis dan menggandeng lenganmu lebih erat dan tanpa harus dengar instruksiku kamu akan mengusap lembut rambutku dan berkata aku hanya bercanda Renata sayang. "Sayang katamu" Dion, aku hanya bisa menuliskan namamu setalah aku mengeja kata merindu di buku harianku. Entah sudah berapa judul puisi yang di dalamnya ada bayangmu.
Dion, terima kasih selama ini kamu menjadi sumber kebahagiaanku, sumber semangatku. Kamu membuatku merasa berarti dan dihormati. Tanpa harus memujiku, kamu mampu membuatku mengerti bahwa kita tidak butuh bertengkar hanya untuk membumbui persahabatan ini. Persahabatan yang perlahan menjadi cinta di waktu yang tepat.

Senin, 04 Agustus 2014

Gejala Menyebalkan

Aku keseringan membisu dalam diam. Hingga semuanya memupuk dalam benak tanpa terungkap. Disinilah aku berbicara - menuliskan apa yang selama ini aku simpan. Membeberkan setiap sayatan perih yang terasa pedih. Serta menunggu obat yang benar-benar bisa menyembuhkannya.

Semua anak yang terlahir ke dunia ini, baik. Jika terdengar berita tentang anak haram - anak yang tidak diinginkan terlahir - anak yang terlahir tanpa orang tua yang lengkap atau anak yang terlahir karena pernikahan yang tidak direstui oleh salah satu pihak. Buku apa yang harus aku baca untuk bisa memahami semua seluk beluk tentang sebuah pernikahan lantas berkeluarga. Aku memilih membaca buku yang aku sukai, menggemari membaca novel hanya untuk mengalihkan segala pertanyaan aneh yang terlintas begitu saja. Andaikan mereka memberikan aku waktu dengan ketenangan mereka, mungkin aku bisa mengutarakan apa yang hendak ingin aku tanyakan. Selalu saja amarah dan keegoisan, selalu saja air mata yang mengakhiri segalanya. Jika wanita ditakdirkan dengan air mata yang takkan pernah mengering, haruskah mereka selalu meneteskannya walau sekedar untuk menenangkan jiwanya. Jiwa yang terguncang karena hal yang sama sekali mereka tidak inginkan terjadi.

Kejadian pagi ini membuat aku mengulang beberapa bulan lalu ketika ...
"Kenapa nggak dari dulu gue digugurin aja kalo gue tahu hidup gue seperti ini.."
Kalimat itu yang terus terulang dalam ingatan. Aku terkejut, sangat terkejut. Kau anak laki-laki yang harusnya lebih tegar dan mengerti akan banyak hal daripada diriku. Kau yang harusnya lebih bisa melindungi kami bahkan membalut setiap luka pada masa lalu kami. Ternyata takdir berkata lain, DIA melahirkanmu dan membuatmu menjadi keras kepala dan egois hingga detik ini kamu masih suka menyakiti kami dengan ucapanmu. Ibu sangat tersiksa selama ini, memendam apa yang sebenarnya sudah ingin dia lepaskan. Mengunci apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Hanya menangis serta mengelus dada. Kamu begitu tega mengungkapkan masa lalu kelam ibu didepannya. Seakan kamulah yang paling benar. Seakan kamulah korban dari masalalu ibu. Tidakkah kau pernah bertanya dalam diammu apa yang ibu rasakan setelah kamu menyakitinya dengan mencecarnya dengan amarahmu? Kau punya hati sama seperti kami - hati yang akan merasakan sakit jika anggota tubuh terluka. Tapi kenapa kamu setega itu? Membiarkan kami hidup dalam ketakutan setiap harinya. Membuat kami selalu sibuk untuk bisa mengalihkan pikiran negatif tentang kamu. Kamu itu anak laki-laki ibu satu-satunya. Ibu yang berharap sekali kamu bisa menjadi pengganti ayah - melindungi kami. Kian hari harapan ibu terkikis bahkan hingga kini ibu seakan menyerah. Bukan pasrah, aku yakin. Karena ibu masih selalu mengutamakanmu - lebih menomer satukan kamu dibanding aku. Kamu seakan tidak mengenal rasa terima kasih dan bersyukur. Padahal ketika kita sama-sama dalam masa anak-anak, kita pergi mengaji bersama-sama. Kenapa sekarang seakan kau tidak mengenal apa itu budi pekerti.

Aku pernah mengeluh pada ibu karena sikapmu. Ibu terus membelamu. Menyuruhku untuk terus mengalah bahkan mengikuti jalan ibu dengan menelan bulat-bulat pahit yang kamu berikan. Ibu teramat menginginkanmu hidup dan tumbuh dengan sempurna - tanpa kekurangan hal apapun. Ibu bekerja keras untuk kita. Hingga kita bisa bersekolah dengan layak serta merasakan apa yang anak lain belum tentu bisa merasakannya. Apakah kamu melupakan semua kebaikan ibu? Semua kebaikan yang ia lakukan karena ibu merasa itu semua kewajibannya. Ibu menyayangi kita tapi kamu tidak. Itulah kenyataan terpahit yang harus ibu terima.

Kamu melukai aku, entah ini pagi keberapa yang aku lalui dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mendadak menjadi pendiam ketika sedang berada ditengah-tengah rekan kerjaku. Mencoba mengalihkan mata yang terasa perih. Kau mengirimkan ku banyak pesan singkat. Yang isinya semua menyakitkan. Sungguh, aku malas membacanya. Aku ini bukan bonekamu. Letih aku mengikuti segala maumu hanya untuk menjeda perlakuan kasarmu pada aku dan ibu. Menjeda, teramat sakit memang. Aku rela menjadi pesuruhmu hanya untuk menjeda rasa sakit yang ada.

Aku dan ibu mencoba berbicara pada DIA untuk menolong kami terlepas dari semua yang menyakitkan. Ibu bilang DIA menyukai kami yang sabar dan bisa mengontrol emosi. Aku pernah menangis didepan ibu dan berkata "aku letih mengikuti maunya, letih melihatmu tersakiti, aku letih mendengarmu mengeluh tentang dia yang membencimu." Lantas ibu bilang "maafkan ibu karena gagal jadi orang tua yang baik untuk kalian." Kamu merasakan apa jika mendengar kalimat maaf dari ibu? Kamu itu.. ahh, rasanya sebutan kasar untukmu sudah aku coba hentikan sejak dulu.

Aku ingin kamu berhenti melukai kami.
Berhenti untuk terus mendikte setiap keinginanmu yang kami tidak bisa penuhi.
Kamu jahat sekali!

Senin, 14 Juli 2014

Yang Telah Berpulang

Jakarta, 15 Juli 2014

Salam sayang,

Aku ngga tahu uwa sedang apa disana, yang aku tahu kerinduan ini masih selalu hidup. Entah sudah berapa lama uwa berpulang kepangkuanNYA. Aku hanya bisa terus berdoa dan sesekali mengingat kenangan bersama. Andai surat ini bisa uwa baca, aku akan senang sekali. Tidak sia-sia aku menuliskan surat ini. Dulu, dulu sekali - ingatkah uwa pada tahun 1996 kau sedang berlayar ditengah lautan. Entah di lautan negara mana, yang aku tahu saat itu aku di Jakarta merengek untuk bertemu denganmu hingga aku jatuh sakit. Kau lantas pulang demi aku, dan kau menghadiahi aku sepeda berkeranjang waktu itu, sepeda yang ku idamkan yang harganya cukup mahal. Aku ingat benar, setelah kesembuhanku, kita merayakan pesta ulang tahunku yang ke-4. Pesta yang amat meriah di jaman itu. Aku dipangkumu, mamah yang memotokan kita berdua. Entah kemana foto itu, aku harap masih ada waktu untuk menemukannya. Aku terbiasa tidak tinggal bersama papa kandungku, lantas aku merasa lebih bahagia ketika tahu bahwa kau menyayangiku lebih dari keponakanmu. Aku beruntung sekali, termat beruntung.

Uwa, aku termat kaget ketika mendengarmu sakit, sakit parah. Aku kaget saat menjengukmu bersama mama. Seketika aku meneteskan air mata, aku berkata dalam hati "Ya Allah, dihadapanku terbaring lemah sesosok yang ku anggap sebagai ayah. Sembuhkanlah segala sakitnya. Jangan berikan sakit lebih dari apa yang sekarang ia rasakan." Allah mendengar ucapkanku, uwa. Esoknya Dia membuatmu terbangun duduk dan bisa berkomunikasi dengan kami. Kau bisa tersenyum dan kau sempat bilang ingin sarapan roti yang ku beli. Jelas, aku langsung membelikannya. Kau begitu lahap saat itu, kebahagiaanku membuncah tak terkira. Puji Syukur untuk doa yang terkabul pagi itu. Hingga pada siang hari aku pamit kembali ke ibu kota. Aku membisikan padamu sambil mengelus punggung tanganmu "Neng pamit dulu, kembali kerja. Insya Allah neng pulang kesini lagi buat uwa. Uwa yang sehat ya. Jangan telat makan dan minum obat. Neng sayang uwa."

Aku nggak tahu apa rencana Allah untuk keadaan ini, hingga aku tiba di Jakarta dan mendapat kabar bahwa Allah memanggilmu. Benar, Allah memanggilmu untuk berpulang kesisiNYA disaat aku tidak ada disisimu. Aku hanya terdiam, jelas aku menangis lagi. Sesuatu yang termat besar pergi dari kehidupanku. Sesosok yang aku belum bisa banyak beri kebahagiaan. Oh My Allah, mungkin jika tak ku tengadahkan matamu mungkin kertas ini akan basah karena air mataku. Semoga uwa tenang disisiMU, ya Rabb.

Aku punya cerita, dua gadis cantikmu kini sudah menjadi remaja. Senin kemarin mereka bersekolah di SMP. Alhamdulillah, pendidikan mereka masih bisa kami teruskan. Mereka tumbuh dengan sempurna - mereka mengenal apa itu rasa suka pada lawan jenis. Mereka bisa berprestasi bahkan mereka nampak cantik sekali ketika perpisahan sekolah dasarnya bulan kemarin. Memakai kebaya dan sanggul di kepala. Kami akan menjaga buah hatimu dengan baik, uwa. Menjadikan mereka sebagai anak mama dan adik untuk ku. Setiap bulan aku selalu bertanya apa yang mereka inginkan. Sebisa mungkin aku mewujudkannya. Akupun menawarkan diri untuk menjadi tempat curhat mereka. Lucu sekali uwa, si sulung bilang takut pada mama karena mama galak. Sedangkan si bungsu, dia hanya senyum saja ketika ditanya banyak hal saat kita berkirim pesan singkat. Jangan lagi kau khawatirkan mereka, karena mereka kami jaga.

Lebaran tahun ini, lebaran di tahun kedua rumah kami tanpa kehadiranmu. Ini yang membuatku ingin segera pulang ke kampung halaman dan berpelukan bersama buah hatimu. Dan juga aku ingin menyekar ke makam mu. Mungkin kau menunggu kami disana, kami selalu berdoa dari rumah setelah sujud kami pada Allah. Uwa, kemeja kesukaanmu masih ada di lemariku. Alangkah baiknya tidak aku pindahkan, biar tetap bisa ku lihat setiap aku membukanya. Fotomu masih ada diponselku. Ah, rindu aku padamu uwa.

Ku sudahi suratku untuk mu.
Tak kuasa aku menuliskan banyak kata disini.
Kami menyayangimu.

:*

Selasa, 08 Juli 2014

Nggak Harus Pake Judul

Hari ini Selasa, 8 Juli 2014
02.40 p.m.

Djakarta !!!
Mood gue lagi nggak bagus, kesehatan gue lagi ngedrop. Efeknya lari ke jobdesk gue, nggak terbengkalai sih cuma sedikit slowly aja gue kerjanya - lebih sering ngecek gadget. Ngeliat notifikasi game *haha*. Kangen gue nulis, kangen baca juga sih cuma sayang gue belum dapet lagi novel yang baru paling gue baca apa yang gue pengen baca dari internet. Oke, gue coba nulis deh. Let's try!

***

Gue speechless kalo lihat sikap mereka. Iya mereka - orang dewasa yang katanya sih selalu merasa paling benar dan paling tahu akan banyak hal. Contohnya nyokap gue : Nyokap akan bersikeras atas setiap pendapatnya, sekali gue ngebantah dia akan bilang kalo gue belum tau apa-apa. Perdebatan bakalan sering terjadi hanya karna hal sepele. Hanya karna ucapan singkat yang menurut gue itu nggak terlalu penting untuk dipermasalahkan. Bokap gue - Apa iya setiap pria itu harus selalu tegas dan kasar? Entahlah, kadang gue ngeliat bokap marah-marah sama nyokap, imbasnya ya ke gue juga. Kalo udah ngeliat mereka berdua perang dingin gue cuma bisa geleng kepala karena besoknya mereka seakan amnesia kalo kemarin itu mereka berantem.
Gue heran lantas gue pergi untuk tidak memperpanjang keheranan gue itu. Mungkin nyokap benar kalo gue itu nggak tau apa-apa. Iya nggak tau apa-apa karna mungkin nyokap masih anggep gue anak perempuannya yang masih seperti 6 tahun lalu. Berseragam sekolah! Menyebalkan.
Orang dewasa itu dipenuhi sama banyak rencana, pemikiran serta segala pertimbangan untuk setiap keputusannya. Menikah! Gue nggak tahu deh harus berkomentar apa tentang satu hal yang katanya sih indah. Iya pernikahan itu indah kalo setiap harinya manis terus. Nikah sama juragan tebu aja belum tentu romantis terus kan? *gilak*
Gue belum ngerti apa itu perceraian waktu usia gue dua tahun. Usia dimana gue baru lancar berlari dan sudah tidak pernah ngompol lagi. Usia dimana gue lupa hangatnya pelukan bokap. Itu masa lalu, bagi gue kenyataan apapun nggak akan menghentikan langkah gue untuk bisa jadi pelindung bahkan sumber kebahagiaan buat nyokap.
Buat bokap gue, seumur hidup selama lebih dari 18 tahun kita nggak pernah ketemu dan disaat Allah pertemukan kita lagi disaat nenek sakit gue seakan nggak kenal bahkan gue lupa ternyata orang yang nggak negur gue saat itu ialah bokap gue. Seorang pria dewasa yang rambutnya mulai memutih tapi jelas gue lihat keegoisan yang nampak dari dahinya sama persis seperti keegoisan kakak laki-laki gue. Orang yang cuma bisa bilang satu kata maaf di telepon dan gue rasa nggak ada penyesalan karena loe sudah membiarkan gue tumbuh dewasa tanpa bisa mengenal sosok ayah kandung. *tragis*
Nggak ada airmata untuk bokap yang sudah begitu banyak menorehkan luka. Bagi gue, semua sudah sirna. Cukup bagi gue punya nyokap dan kakak laki-laki. Cukup bahagia untuk gue bisa nggak tinggal sama bokap karna nggak sedikitpun gue berharap bisa punya ibu tiri. *terima kasih*.

Bicara soal menikah, gue sempet punya keinginan untuk bisa menikah - menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang bisa mengayomi gue. Jadi imam, supporter, fans, and anything! Tapi disaat gue merasa puas dengan apa yang gue bisa kerjakan sendiri menarik pemikiran gue untuk segera memusatkan pikiran gue untuk mulai serius dengan masa depan gue. Gue takut, kelamaan have fun sendiri jadi nggak mau merrid kan jahat!!! *nggak mau*

Jakarta, gue lahir disini. Tapi sayang gue nggak betah! Bahkan gue seakan terpaksa untuk terus jalani rutinitas di kota ini. Andai gue punya banyak uang mungkin gue bisa beli rumah di daerah jawa barat yang polusinya sedikit lebih sejuk daripada disini. Gue juga capek kerja jadi bawahan melulu. Gilak, bos gue banyak banget maunya. Tapi kalo urusan salary, pelitnya sih sama kaya si madit! *ehh*.

Impian gue buat jadi penulis kapan ya bisa terwujud. Gue cuma terus mimpi doank tapi belum bisa ngewujudin jadi kenyataan. Bisa terkenal karena tulisan, bisa dapet penggemar dan penghasilan dari buku. Kan keren hidup kalo kek gitu!!

Well to the well, gue lagi nggak produktif. Sebatas posting curhatan gue doank! *basi*

BYE.

Selasa, 10 Juni 2014

Surat Untuk Renata

Untuk Renata yang aku rindukan,

Apa kabarmu disana?
Sedang apa dirimu saat membaca suratku ini?

Apakah kau merindukanku?

Ahh, Renata! Kita sama-sama tahu bahwa aku tidaklah pandai berbasa-basi pada siapapun. Kalimat sapaan yang buruk untuk mengawali percakapanku disini. Lupakan! Anggap saja itu sebuah lelucon untuk memancing tawamu yang sedang aku rindukan.

Renata,
Aku merindukanmu! Merindukanmu pada dua puluh empat jam setiap hari dalam hidupku. Merindukanmu semenjak perpisahan itu. Merindukanmu ketika aku menyaksikan kereta api membawa langkah kakimu pergi menjauh meninggalkan aku - meninggalkan kenangan yang kita lalui bersama.

Renata,
Aku merindukamu! Rasanya ini bukan rindu yang biasa hadir ketika petang memisahkan tatapan mata kita. Ini rindu yang baru aku sadari bahwa di dalamnya ada rasa kehilangan yang mendalam. Kerinduan yang perlahan mulai membuatku gila - terus memikirkanmu, bertanya sedang apakah dirimu, menatap foto kita yang sedang tertawa di tepi danau.

Renata,
Aku merindukamu! Maafkan aku untuk kerinduan yang terlalu berlebihan. Maafkan untuk aku yang mungkin mengingkari persahabatan ini. Maafkan aku yang mulai merasakan bahwa cinta itu hadir diantara kita - cinta itu tumbuh disetiap hari-hari persahabatan kita. Cinta yang tidak bisa ku cegah ketika dia terus tumbuh dan hidup di dalam hatiku.

Renata,
Ku beranikan menulis surat kedua setelah surat pertama yang ku tulis sepuluh tahun lalu - disaat pertama setelah kita saling berjanji untuk menjadi sepasang sahabat sejati yang akan terus berdua sepanjang hari. Ketika kita saling mendikte keinginan kita berdua untuk persahabatan ini.

Renata, terlalu banyakkah aku berbicara disini? Entahlah, rasanya sudah berabad-abad aku terpisah jarak denganmu. Perpisahan itu membuatku menjadi lebih cerewet dibandingkan dirimu. Membuatku banyak menuliskan apapun yang dihantarkan perasaanku ke pikiranku. Membuatku terus mengeja kata merindu untuk Renata.

Renata,
Tidak harus kau balas surat ini. Setidaknya aku berhasil untuk mengakui semuanya - tentang perasaan yang terlalu kuat untuk bisa aku hapuskan, tentang senyuman yang selalu aku rindukan ketika pagi bersambut, tentang sesosok gadis tercantik yang hidup di dalam kehidupanku, tentang seorang Renata yang menemaniku lebih dari sepuluh tahun dan berhasil mengajari aku banyak hal dan tentang kamu yang menjadi alasan untuk aku terus berbuat baik demi menjadi apa yang kamu inginkan.

Renata,
Tidak ku paksakan untuk kau membalas kerinduanku - aku merelakan kerinduan ini untuk hidup bersama kenangan kita. Meski mungkin disana kerinduanmu untukku tidak sedalam kerinduan yang ku punya untukmu. Aku yang terus membuatnya tumbuh subur, hingga kini perlahan ia seakan sungkan untuk pergi dari relung hatiku ini.

Renata,
Ku sudahi surat kedua ini. Tahukah kamu, dihadapanku ada banyak kertas yang ku remas hanya untuk membuat sapaan untuk mengawali surat ini. Mungkinkah ini surat cinta? Aku tersenyum sendiri ketika ku putuskan di kertas kedelapan ini untuk melanjutkan kalimat pertama yang aku tulis disini. Bisakah hal itu membuatmu menertawakanku?

Renata,
Akupun menyempatkan menulis puisi pendek untukmu. Maaf jika buruk saat kau baca, nilai bahasa sastra ku jauh dibawah nilaimu. Bacalah!

"Untukmu Renata,
Sejauh apapun kau pergi meninggalkanku
Selama apapun jejak kakimu menjauhiku
Kerinduan ini selalu atas nama dirimu
Renata Prameswari
Dari Dion Adiswara"

Minggu, 08 Juni 2014

Puisi Pagi Ini

Morning, Readers!^^
Morning Jakarta, selamat hari senin yang crowded dimana-mana.
Dan semangat menulis untuk jemari yang sudah lama tidak menari disini.

***

Pagi,
Bisakah kau dengarkan aku
Bahwa perasaan itu tidak pernah bisa ku beri judul
Tidak bisa ku berikan penjelasan untuknya

Pagi,
Jika memang luka itu berasal karenaku
Jika kekecewaan itu diakibatkan atas diriku
Maka bantu aku untuk bisa membebaskannya

Membebaskan setiap perasaan yang tak berjudul
Membebaskan segala pertanyaan yang belum terjawabkan
Membebaskan perasaan yang ku punya untuk terus mengudara
Membebaskan kerinduan yang pernah ada untuk bisa menjadi hal biasa

Pagi,
Aku tak bisa ceritakan lebih banyak dari ini
Aku bertahan dalam diam
Entah sampai kapan

Pagi,
Tidak ada pertanyaan yang bisa aku jawab
Tidak ada kerinduan yang bisa aku balas seperti maunya
Tidak ada cinta yang bisa aku berikan seperti dia memberikannya

Aku memilih bertahan dalam diam
Untuk tidak banyak berbicara dengan perasaan
Untuk tidak memperlebar luka yang menyisakkan kekecewaan
Untuk tidak terus membuatnya merasa diberi harapan

Pagi,
Kabarkan pada DIA
Untuk sembuhkan luka hatinya
Untuk diberikannya hati yang memeluk cinta yang ia dambakan
Untuk membahagiakan dirinya lebih dari apapun

Untuk pagi yang selalu seperti ini,
Terlalu hangat untuk aku biarkan,
Untuk pagi yang selalu menyenangkan,
Ketika aroma itu masih selalu terhirup dalam penciuman...


"Aku belum bisa membenarkan pepatah yang berkata bahwa cinta datang karena terbiasa.. Ternyata cinta tidak mengenal waktu, dia tidak mengenal berapa lama dua orang itu bercengkrama, dia tidak mengenal seberapa jauh genggaman tangan itu kuat untuk tak terlepaskan.. Cinta butuh kesadaran, pengertian serta keihlasan.. Ada kalimat anonim bilang bahwa Cinta itu dia yang berani ditinggal atau pergi dari seseorang yang ia sayangi.."

Selasa, 08 April 2014

HUJAN

Nggak perlu gue jelasin apa itu *hujan*. Beberapa orang bisa mendeskripsikan kata *hujan* dalam berbagai sudut pandang - dari pengamatan ilmu pengetahuan alam ataupun dari segi bahasa indonesia sendiri. *hujan* itu identik dengan air yang turun dari langit yang katanya awan dan anginlah dua mediator penyampainya. *hujan* ada sih sebagian orang menyimpulkan bahwa *hujan* adalah tangisan dari langit ( sadis :| "secengeng itukah langit sampai ia harus menangis disaat mukanya nampak gelap ). Dari fungsi atau kegunaan dari *hujan* itu sendiri bermacam-macam dan gue rasa nggak perlu gue jelasin!
Gue yang sedaritadi menghabiskan jam kerja dengan mendengarkan lagu dari myspace mengamati kondisi langit dari jendela didepan ruangan gue -- *gelap. Dan gue bisa pastiin seketika itupula butiran air memang jatuh dari atas permukaan bumi -- *langit. Gue berpikir, apa yang bisa gue jabarkan dari kata *hujan* itu sendiri selain puluhan baris kalimat yang gue coba tuliskan dan nggak tau apakah memang pantas untuk disebut sebuah tulisan. Gue mau coba nulis cerita pendek tentang hujan. Let's check it!

***

"Biar ayah carikan taksi untuk ibu dan anak-anak, biar lebih cepat tiba dirumah dan tidak kebasahan." ucap seorang bapak sambil menyeka matanya yang terguyur air hujan.
"Lalu ayah bagaimana?" tanya seorang wanita berkerudung yang tetap memeluk erat kepala sang anak.
"Ayah tidak apa-apa, sudah kepalang basah biar nanti ayah pulang setelah hujan reda. Yang penting ibu dan anak-anak tidak kemalaman dijalan." ucapnya sambil menerobos hujan ke tepian trotoar untuk meyetop taksi.
Setelah mendapatkan taksi yang dimaksud, sang ayah kembali ketempat berteduhnya ibu dan anak-anaknya. Seketika ia mengamati sekitar 'tidak ada yang menegakkan payung' pikirnya. Sepertinya ia bermaksud meminjam payung siapapun yang ada disekitarnya untuk ia gunakan sebagai pelindung agar istri dan kedua anaknya tidak kehujanan ketika menuju taksi. Tanpa berpikir lama, ia melepas jaket berbahan anti air yang ia kenakan untuk melindungi pakaian sang istri agar tidak kebasahan. Lantas melepas helm untuk menutupi kepala istrinya lalu mengarahkan langkah mereka berdua dengan setengah berlari. Kemudian ia kembali dengan jaket dan helm tersebut untuk melindungi tubuh kedua anaknya. Setelah taksi pergi, ia bermaksud meneduh di halte yang sesak dengan orang-orang yang berlindung dari hujan. Semua sudah terlanjur basah pikirnya. Ia hanya terus menyeka matanya sambil berkata "lindungi istri dan anak-anakku ya Allah, selamat sampai di rumah." Tak lama ku perhatikan gerak tubuhnya. Ia memutuskan untuk mengenakan kembali helm dan jaketnya yang mungkin ikutan basah seperti ribuan helai rambutnya yang tak begitu pendek. Merogoh saku di jaket untuk mengambil kunci motor dan mulai menstarter motornya. Dengan perlahan ia tak lagi berdiri didepan trotoar.
Setibanya aku di rumah, terlintas kembali kejadian itu. Sembari menikmati secangkir kopi yang ku pikir bisa menghangatkan tubuhku yang diserang hujan tadi. Ya Allah sungguh besar rasa cinta bapak tadi kepada istri dan kedua anaknya, dia rela berperang dengan derasnya hujan demi keluarganya. Apakah papa akan bersikap seperti itu jika aku dan mama terjebak dalam situasi yang sama? Aku bertanya nanar - senyum tipis dengan tatapan tak percaya.
"Papa nggak mungkin bisa berjiwa besar seperti bapak itu." aku mendesah pasrah.

***

"Kamu nggak diomelin pamanmu kalo nemenin kita main kasti disini, Put?" Bisik Arga ketika ia berusaha menyamakan langkah kakiku.
"Paman pasti marah, namun aku sudah kepalang basah, Ga. Kapan lagi bersenang-senang ketika hujan mengguyur seluruh permukaan lapangan ini?" Ucapku sambil berlari ke tengah lapangan.
"Put, tunggu aku!!!" Teriak Arga yang berlari mengejarku.
Lihatlah kami - 5 Sekawan. Arga - anak laki-laki mahir matematika dan paling nggak suka sama cicak. Doni - si pemalas! Yang hobinya jajan di kantin sekolah. Ivan - si telat mikir yang paling tinggi rasa solidaritasnya. Juna - anak mami yang nggak bisa kalo ngggak sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan aku Putri (baca : tanpa deskripsi).
"Ga, kalo kamu bisa ngalahin mereka bertiga bareng aku dan kita bisa seneng-seneng disini, semua itu cukup bisa membayar segala hukuman dari paman kalo dia tau aku sengaja hujan-hujanan." jawabku.
Aku nggak pernah sebahagia ini - bertahun-tahun bersahabat dengan mereka terkadang membuatku bosan ketika bermain kasti di lapangan yang rumputnya kering tak terjamah hujan. Berhubung kami berlima, aku dan Arga satu tim melawan Doni, Ivan dan Juna. Dua lawan tiga! Aku dan Arga memang bisa dibilang lebih hyperactive dibandingkan dengan tiga orang kawan kami itu. Kami berdua yang akan berlomba lebih cepat siapa untuk menjawab pertanyaan dari guru ketika di dalam kelas. Kami berdua yang akan sukarela membantu staff perpustakaan jika sedang merapikan buku-buku baru yang dikirim dari pemerintahan pendidikan. Dan kami berdua yang memiliki kegemaran yang sama *menuliskan kalimat pendek disetiap halaman buku tulis dibagian paling bawah*.
"Yeeee.. kita menang!" teriakku pada Arga yang berhasil mengelabui Juna ketika meraih sudut terakhir.
"Ah, selalu kalah! Mau kering atau basah ini lapangan Putri sama Arga emang jago kalo masalah main kasti. Iya nggak, Don?" tanya Juna kesal pada Doni yang berjalan beriringan.
"Udah kalian ini terima aja kalo kita berdua itu jauh diatas kekuatan tiga orang untuk permainan kasti mini ini?" jawab Arga merangkul bahuku.
Seketika aku hanya bisa bergeming - berjalan penuh keringat bercampur butiran *hujan* yang belum mereda. Aku sejenak menatap dahinya lantas hanya bisa tersenyum tipis tanpa menjawab sepatah katapun untuk merespons rangkulan itu.

Di teras depan rumah,
"Put, makasih kamu masih setia sama kita berempat." ucapnya ketika mengantarkanku pulang.
"Kalian sahabatku, kalian sumber kebahagiaanku. Sampai besok di sekolah." jawabku singkat.
Arga tahukah kamu, ada hal lain yang menyadarkanku tentang persahabatan ini. Rangkulan tadi di lapangan seakan enggan jika hanya ku anggap sebagai rangkulan persahabatan. Inikah yang paman bilang tentang *cinta*. Sedini inikah aku merasakannya? Arga, aku tak mengetahui ini apa, rasanya seperti ingin menghentikan waktu ketika kita sedang tertawa bahagia bersama. Seakan aku tak pernah ingin membayangkan untuk kehilanganmu. Seakan aku ingin memilikimu kini dan selamanya. Tapi, persahabatanlah yang menguatkan aku untuk tetap disini. Membenamkan setiap rindu untuk ibu dan ayah yang telah pergi menuju surga, meninggalkan aku dengan paman yang baik hati dan selalu menyayangiku. Arga, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan? Apakah kamu memiliki ketakutan yang sama? *Takut kehilangan*.

Kronologi Kehidupan

Selamat sore Jakarta - Ibu kota negara tropis, eh salah Ibu kota negara Indonesia. Langit siangmu terasa teramat membakar tubuh siapa saja yang berada dibawah sinar mentari. Bahkan hingga sore menjelang, tepat pukul 15.00 WIB masih jelas ku lihat bias warna orange sebagai pencitraan sinar mentari yang dua jam tadi membuatku memejamkan mata didepan pendingin ruangan. "Panas!" keluhku.

Ada yang ingin aku tuliskan, sebuah pengaduan besar. Yang aku pikir tak ada lagi alasan untuk aku memendamnya. Tapi, aku dilanda kebimbangan. "Apakah benar aku harus menuliskannya atau hanya membisikkan pada udara bahwa aku teramat ingin bebas dari segala ketidaknyamanan ini?". Ini hal yang aku tak suka. Apa yang aku tuliskan dimanapun seakan selalu menyimpan makna dalam setiap kalimatnya. Dan beberapa pihak yang mengenalku dan membaca tulisanku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri hanya bisa menyikapinya dengan sebuah senyuman. Aku tahu mereka peduli, aku tak mengartikan pertanyaan-pertanyaan mereka sebagai bukti tindakan *kepo*. Tapi tolong, sedikit untuk bisa memberiku setapak demi setapak agar aku berpikir tidak lebih berat dari ini. Dan aku perlahan semakin melemah - merasakan sayap-sayap semuNYA perlahan menipis lantas memudar, ketika terdengar dalam inderaku tentang sebuah penilaian atas kekecewaan. Dengarlah, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Termasuk aku! Aku yang terkadang memilih diam dan hanya menuliskan semua keluhan disini, memaparkan apa yang terlintas dalam benak disini. Bukan seperti mereka yang mungkin lebih memilih menjadikan aku sebagai pelarian atau bahkan sebuah bantalan untuk kekacauan yanga da. Dengarkan aku, aku sama seperti mereka. Hati kecil yang bersembunyi diantara rongga dada dan terhimpit jantung yang akan aku bisa pastikan degupannya terasa lebih kuat ketika mereka menyambuk hebat ruang terdalam perasaanku. Aku tak bisa melawan dengan perlakuan yang sama. Aku hanya berusaha terdiam menahan emosi atas rasa sakit yang ada, dan membiarkan semua terekam oleh memori dikepala yang suatu saat akan terputar kembali di masa depan tanpa bisa aku cegah.

Dear diary,
Aku lebih puas berteriak disini - tak bersuara hanya jemariku yang menari kesana-kemari secara bebas tanpa peduli dirimu akan berekspresi seperti apa ketika aku mulai mengeluh di bait pertama. Lain dengan manusia, dia mendengar dia mengamati gerak bola mataku saat mengeluh dan dia berbicara ketika dia pikir aku selesai mengutarakan keluhanku. Dan aku tak mahir menahan tangisan yang keluar setiap kali kaset rekaman dalam otak terputar kembali - mereview kejadian buruk yang membuatku muak.

Diary, yang aku amati dari orang dewasa ialah mereka dengan segambreng keegoisan yang mereka nggak pernah mau akui. Orang dewasa yang menilai dirinya selalu pada pemikiran dan tindakan yang benar. Orang dewasa yang merasa butuh sandaran ketika orang dewasa lain disekitar mereka berusaha mengacaukan kehidupannya. Orang dewasa yang akan banyak mendoktrin orang yang usianya lebih muda dibawahnya dengan segala amarahnya. Mereka enggan dinilai keras kepala, akan marah jika dibilang selalu merasa yang paling benar. Serumit itukah isi kepala mereka? Tidak, dengarkan aku! Aku kini bukan lagi anak perempuan berkepang dua yang memakai seragam putih biru dan bergenggamkan buku-buku panduan bimbel hanya untuk mencetak nilai bertinta hitam diatas angka 8 disetiap halaman buku lapor. Aku mungkin 5 tahun diatas masa itu. Aku yang kini sedikit memahami perasaan wanita lainnya seperti apa dan aku bisa menerka tindakan apa yang akan dilakukan seorang pria ketika ia cemburu. Come on! Aku sudah menjadi orang dewasa. Aku dewasa karena aku berhasil mendirikan bendera kekalahan demi berhentinya sebuah peperangan dalam kehidupan. Aku dewasa karena aku bisa belajar untuk peduli pada orang lain tidak hanya pada diriku sendiri. Aku dewasa karena telah merasakan jutaan efek dari setiap lekuk kehidupan. Aku dewasa karena kalian. Kalian yang mengatasnamakan dewasa pada diri kalian.

Diary, Jangan bilang aku selalu bersembunyi disini. Pada siapapun termasuk mama! Kau harus berjanji, ini hanya aku, kamu dan Tuhan yang mengetahuinya. Bagiku, Mama atau mereka tak perlu mengetahui secara pasti tentang perasaanku dan tentang keadaan psikisku. Aku masih berada dalam kesadaran yang benar. Bahkan aku masih mencintai kehidupanku dan aku tak akan memilih untuk mengakhiri kehidupan ini hanya karena sebuah kerumitan yang ada. Cukup doakan aku untuk bisa jadi pribadi yang bisa bersabar dan ikhlas. Dua kata itu cukup mengandung banyak arti dalam kehidupan ini.

Kamis, 03 April 2014

Rabbits!

Jakarta sore ini, 3 April 2014

Seperti biasa gue selalu menyuguhkan beberapa hal yang gue alami di kehidupan gue contohnya ...
"Selamet ye dik, si Wiku udeh jadi bokap sekarang! Si kelinci betina - Sonya udeh ngelahirin kemaren dua ekor anak cuma yang satu matinya nggak ketauan semoga yang satu lagi gue bisa rawat ye.."
Just Info, Wiku itu kelinci peliharaan gue yang dua tahun lalu gue beli bareng si Miky! Dia berjenis kelamin jantan, berbulu halus dan berwarna putih. Entah berapa bulan dia tinggal bareng keluarga gue di Jakarta. Yang gue inget gue bawa dia pindah ketika gue mudik lebaran dua tahun lalu, alasannya karena si Miky ternyata harus mengalami keracunan makanan yang mengakibatkan hidupnya harus berhenti hanya beberapa bulan saja. Dan si Sonya adalah kelinci dengan jenis kelamin betina kedua yang brother gue beli, sebelumnya ada yang namanya Felly dengan jenis kelamin betina juga. Felly mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga pada saat musim pancaroba maka kita harus ikhlas kalo Felly sudah tiada. Dan kabarnya si Sonya itu telah melahirkan dua ekor kelinci yang jenis kelaminnya belum kita ketahui, tapi sayang satu dari dua itu ternyata nggak bertahan lebih dari 3 hari. Ya apapun kejadiannya, satu atau dua keturunan yang Sonya hasilkan itu tetap anggota baru di keluarga Wiku.

Gue nggak tau sejak kapan gue suka kelinci. Yang gue inget, sejak gue SD kakak laki-laki gue pernah pelihara kelinci. Tapi semenjak gue melihat si Wiku diantara kelinci-kelinci lainnya yang ada di dalam kandang, gue merasa jatuh hati sama dia. Alhasil negosiasi harga gue ajukan dengan si penjual kelinci kala itu. Gue bawa si Wiku dengan harga yang cukup murah :)

Nggak cuma gue, semenjak hadirnya Wiku dikeluarga gue ternyata Papa, Mama, Abang dan ade gue amat antusias untuk melihara dia. Setiap harinya Mama selalu berusaha mau pergi ke pasar hanya untuk membeli sawi hijau atau wortel untuk asupan makanannya Wiku. Kadang sih Mama berkomentar karena uang belanjanya sering tekor karena Mama beli sawi hijau yang organik (Salah sendiri :p). Dan Papa, abang, ade dan gue akan sibuk gantiin lapisan koran sebagai alas tempat istirahatnya dia didalam kardus (Maklum waktu itu kita nggak sempet bikin rumah yang nyaman buat dia). Sampai akhirnya kita semua sibuk dan dengan berat hati Wiku di pindahkan ke Kota Kelahiran Mama. Disana Wiku dirawat sama Alm. Ua laki-laki, Ua Perempuan dan kedua sepupu gue yang cantik. Mereka menyimpulkan bahwa Wiku terlampau aktif hingga mereka terkadang kesulitan menemukannya. Oh iya, Wiku paling seneng kalo jilatin punggung kaki kita semua. Denger namanya dipanggil dia ngibrit nyamperin, kadang gue heran dia itu kelinci apa kucing sih koq bisa menjilat. Tapi sayang, gue nggak mengabadikan moment itu. Setelah meninggalnya Ua laki-laki, gue menitipkan Wiku pada kakak angkat gue. Dengan senang hati dia sekeluarga menerima kehadiran Wiku ditengah-tengah mereka. Gue bahagia, Wiku bisa menemukan keluarga baru yang mau merawat dia sepenuh hati.

Itu sedikit cerita gue soal kelinci :)
See next topic

Selasa, 25 Maret 2014

Serpihan Kecil

"Seenggaknya kalo yang lebih tua nggak bisa mengalah, harusnya yang mudalah yang mengalah. Kalo sama-sama keras kepala mau jadi apa kedepannya."

Ada yang tahu maksud dari kalimat itu apa?
Oke fix, gue merasakan ketidakadilan atas pernyataan ini.

Mom, apakah bisa Mom beri aku jawaban pasti 'sampai kapan aku harus terus mengalah -- merasa terluka bahkan merasa terbebani atas semua ini?'
Mom hanya bisa diam -- sesekali Mom marah sama aku karena menurut Mom pertanyaan aku itu teramat lancang untuk aku tanyakan.
Mom, selama ini aku yang mengalah -- mengabaikan jeritan kekesalan yang bermuara pada hatiku, membiarkan setiap tetes air mata kembali mengering dibelakangmu. Tapi Mom selalu marah dan selalu menilai tidak ada satupun anak Mom yang bisa membahagiakan hati Mom. Lantas semua yang aku lakukan demi Mom itu artinya NIHIL? Selama ini aku diam -- menumpukkan segala kebencian atas sikapnya, semua itu sia-sia?
Mom, come on! Aku ini anak Mom. Sama sepertinya. Dan sama seperti ade -- sekecil itu dia harus mengalami apa yang aku alami beberapa tahun silam. Apa jadinya aku disini jika dia diperlakukan sama seperti diriku saat seusianya.
Mom, aku nggak tahu titik kesalahannya dimana. Aku nggak ngerti maksudnya Mom meluapkan amarah kekesalan atas dirinya hanya didepan aku, itu maksudnya apa?
Mom, yang aku tahu -- aku hanyalah media untuk Mom bersadar -- mengeluh tentang apa saja. Bahkan terkadang Mom lupa kalo aku juga ingin dimengerti.
Oke fine, untuk ini biarkan aku yang terus mengalah. Terlebih doa-doa Mom yang sempat terdengar oleh telingaku -- doa-doa itulah yang menguatkan aku bahwa sejatinya Mom bermaksud baik atas diriku. Doa-doa yang selalu aku amini dalam hening hanya karena aku tak kuasa menahan perihnya mata.
Mom, mungkin aku tak sering mengatakan bahwa aku menyayangi Mom lebih dari menyayangi diriku sendiri. Aku hanya bisa terus berjalan walau terkadang aku hendak berhenti melangkah, namun gambaran Mom dan adelah yang terus memicu langkahku terus melaju.
Mom, jika aku mampu dalam 24 jam sehari hidupku. Aku terus bekerja -- mencari, mengejar, menjemput apapun yang Mom dan ade butuhkan. Apapun itu Mom, apapun itu! Seletih apapun itu!
Mom, mungkin Mom nggak akan pernah tahu bahwa anak gadismu ini memiliki sebuah diary. Mom hanya tahu anak gadismu ini selalu menyibukkan diri dengan novel-novel yang ia miliki. Mom sering mengeluh jika aku terus menerus berdiam diri menatap setiap kalimat dalam perhalaman novel itu.
Mom, tidak penting bagiku untuk Mom tahu hal apa saja yang aku suka, begitupun sebaliknya.
Mom, melihatmu bahagia -- tanpa harus mengeluh atau memarahi siapa saja yang ada dirumah, itu sebuah keinginan yang terus aku harapkan selalu terwujud.
Mom, jika Mom merasa keluarga kita tidak sempurna, Mom salah!
Kita sempurna Mom, ada dia yang terlampau jahil selalu menciptakan keributan kecil setiap harinya. Ada Mom yang siap-siap teriak dan marah-marah sama aku. Ada ade yang mungkin mewarisi watak dia yang keras kepala. Dan ada aku Mom -- aku yang selalu menjadi penengah. Aku yang selalu jadi bantalan. Berikutnya ada papa Mom -- papa yang terkadang menjadi alasan Mom sering memaksa aku untuk ku temani berjalan-jalan keluar rumah, sekedar pergi ke pasar swalayan untuk belanja bulanan, ke departement store untuk mengumpulkan koleksi sandal si ade atau pakaian kerja Mom.
Mom, maafkan aku! Jika aku pernah membentak Mom ketika aku merasa sudah tak kuat lagi menjadi bantalan Mom.
Tidakkah Mom tahu, setiap saat Mom marah padaku dan menyuruhku untuk tinggal tidak seatap dengan Mom -- hatiku seakan tertusuk belati Mom. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan Mom, setelah lebih dari 10 tahun kita tidak tinggal satu rumah, dan setelah sekian lama Mom bergantung padaku untuk mencari sandaran -- apakah Mom berpikir akan lebih baik jika aku tinggal jauh dari Mom?
Mom akan butuh aku, begitupun aku. Kita ini keluarga, Mom! Kita butuh yang lain dalam kondisi apapun dan kapanpun.
Mom, aku sayang Mom.

Jumat, 14 Februari 2014

When I type something, so you can know 'who am I' :)

Gue pernah ngerasa jatuh -- ngerasa nggak nyaman, nggak karuan, nggak fokus bahkan terkadang nggak sadar -- kalo ternyata gue masih punya alasan untuk gue tetap bertahan hidup. Sedikit aneh kedengerannya, mungkin! Gue selalu bisa menutupi segala kerapuhan gue dari orang-orang sekitar dengan perilaku gue seperti biasanya. Begitupun ketika gue menangis sejadi-jadinya ketika gue berhasil mengunci diri dikamar tanpa bersuara -- ngumpet dibawah bantal -- Gue nggak naif! Gue nggak suka orang ngeliat gue netesin air mata, bukan karena gue nggak mau dibilang lemah atau cengeng. Fix, gue nggak suka saat jatuh menghampiri gue.

Pernah nggak diantara loe semua ngerasa "Dunia ini nggak adil buat kita?" bahkan dunia seakan kejam ketika kita mengejarnya -- tak terjamah hanya meninggalkan kekecewaan mendalam. Hal sederhana yang sering gue alami dalam kehidupan, terkadang ngebuat gue berpikir bahwa setiap orang berhak egois dan menolak atas pertanyaan dari orang-orang sekitar. Contohnya -- bisa jadi gue terlahir kedunia ini sebagai mediator keluhan -- temen-temen gue bisa dengan santainya dan kapan saja bercerita mengutarakan segala keluhan mereka sama gue, dan gue selalu memiliki pemikiran yang baik untuk menanggapi setiap cerita yang gue denger. Tapi Hello, apa yang gue dapet dari sikap bak Peri Penyelamat di dalam dongeng? Kemana temen-temen yang selama ini dateng ke gue dengan gerombolan keluhan mereka ketika gue butuh mereka saat gue berada diposisi mereka? Well, gue udah tau jawabannya. Dan gue tau, gue akan nampak jahat jika gue berpikiran bahwa mereka ada hanya karena butuh gue. Biarlah, gue nggak perlu balasan yang sama atas sikap gue, Tuhan nggak pernah tertidur, ya kan? :D

Gue ini aneh, mungkin! Atau mungkin gue terlanjur terobsesi sama yang namanya sastra. Sampai suatu hari temen gue bilang "gue heran sama loe, isi kepala loe apaan sih koq bisa-bisanya loe komen atas penderitaan gue pake kalimat kek guru bahasa indonesia tau!" Well, kalo urusan bicara melalui tulisan, bolehlah gue jagonya :D gue emang suka nulis, dan nggak jarang gue suka berimaji. Membayangkan beberapa karakter seperti dalam novel, yang pada akhirnya gue selalu memimpikan untuk jadi seorang penulis. Walau sekarang ini gue nggak bisa ngerangkum semua ide yang ada dikepala gue saat mereka terlintas. Setidaknya gue masih selalu gemar membaca apapun termasuk membaca ingredients and how to cook the noodles di bagian belakang kemasan mie instan :D

Jadi anak penengah itu serba terjepit :( dituntut jadi adik yang penurut buat abang gue dan kakak yang baik buat adik gue. Dunia berputar lebih cepat ketika gue dihadapkan dengan seorang abang yang keras kepalaya menular ke adik gue! God, kalo dua-duanya keras kepala lantas gue bisa apa supaya bisa mendamaikan kegentingan diantara kami bertiga? Gue lagi kan pada akhirnya yang di minta mengalah sama nyokap. Keseringan ngalah mengajarkan gue tentang arti peran penting dalam keluarga. Iya! Gue, penting!!! Nyokap bilang, kalo bukan gue lantas siapa lagi yang mau dia ajak curhat mengenai ini itu. Kalo bukan gue terus siapa lagi yang bisa diajak diskusi mecahin setiap masalah yang ada di rumah? Dan kalo bukan gue siapa yang mau ngalah demi sebuah ketenangan? Ini nggak adil sebenarnya, cuma gue juga nggak bisa nuntut apapun. Setidaknya satu dari tiga ada yang masih sadar bahwa mengalah ialah jalan yang tepat saat bertengkar. :D

Gue kangen banget sama gelembung permen karet. Kangen deh! Rindu tebal, kek gue kangen sama sepeda. Gue salah satu anggota dikeluarga besar gue yang menyukai Membaca Novel. Cuma gue mungkin, yap betul! Gue selalu bangga kalo punya novel baru, beda sama tante, sepupu, keponakan atau bahkan adik gue yang nggak suka novel. Entah darah dari siapa gue dan abang gue suka sastra puisi. Kita berdua sama-sama suka coret-coret dikertas. Bikin bait-bait puisi gitu. Tapi kita terlahir dengan keegoisan yang berbeda. Gue sama bokap kedua gue menyukai sepeda dan vespa. Kalo nyokap sih masih mencintai motor trail kenangan masa lalunya bareng bokap pertama gue. Dan fix gue dan adik gue kompak kalo kita suka sama Iqbal CJR. Hahaha :) setidaknya gue bernapas lega, diantara banyak perbedaan yang ada, gue masih punya kesempatan untuk menyukai hal yang sama.

"Kebahagiaan gue itu yang pasti keluarga gue, dimana ada nyokap bokap, abang adik, dua sepupu gue yang cantik, dan keponakan-keponakan gue yang lucu-lucu. Dan gue berharap one day gue bisa nulis novel-novel dengan judul dan tema cerita yang berbeda :)"

Senin, 20 Januari 2014

Apakah Hidup Memang Nggak 'Pernah Bisa' Adil ???

Hidup itu 'sedikit terkesan nggak adil' kalo ....
* Kalo kebahagiaan baru aja dateng tiba-tiba dia mendadak enggan menetap dalam jangka waktu lama berpindah menjadi kesedihan
* Kalo kita ngerasa usaha yang kita lakukan itu nggak menghasilkan akhir yang diharapkan
* Kalo orang lain aja bisa bahagia dan menyatukan perasaannya dengan perasaan orang yang ia pilih untuk ia cinta sedangkan kita nggak :|
* Kalo di dalam sebuah keluarga itu ada yang namanya 'Ketidakseimbangan Perhatian, Kasih Sayang dan Perlakuan Sikap'
* Kalo udah berminggu-minggu nahan diri untuk nggak jajan karena sengaja pengin beli sepatu yang ditaksir namun harganya lumayan bikin otak merencanakan penghematan tapi pas udah kekumpul dananya itu sepatu keburu dibeli sama tangan orang lain :'(

Dan masih banyak Kalo-Kalo lainnya yang kita nggak pernah sangka bisa menjadi alasan utama untuk kita menyimpulkan bahwa "Hidup itu nggak adil!!!'
Me - aLa :))

Jumat, 17 Januari 2014

Monolog Gue

Dia berkaca pada sebuah cermin - menatap nanar tubuh yang berdiri tanpa berbicara. Hanya telapak tangan menyentuh perlahan permukaan kaca. Sedikit membuat gerak pada beberapa titik - melihat miring lalu kembali normal. Menyentuh dahi, alis, kantung mata hingga ke pipi. Masih tetap diam tanpa berbicara. Perlahan melangkah mundur satu langkah lantas maju dua langkah. Bingung? Memang, bagaimana bisa mundur selangkah maju dua langkah - desah hatinya. Bagaimana tidak bisa? Bisa saja ibarat memasak sup ayam dan kelebihan garam, mungkin kau akan berpikir dengan menambahkan merica dan sedikit air untuk menyeimbangkan rasa asinnya. Seakan cermin itu menjawab kebingungannya. Ia membuka pelupuk mata lebih lebar lantas menyajikan sederet gigi putih nan rapi bersama sebuah senyuman. Ia berpikir, tidak ada keburukan yang tak bisa diperbaiki menjadi baik dan lebih baik. Ia bisa perlahan memahami dirinya - bersahabat dengan segala kekurangannya. Tak lagi mendengus kesal saat ia merasa tidak bisa melakukan apa yang orang lain bisa lakukan. Atau menggerutu lantas marah ketika ia merasa tidak mampu menjadi seperti orang lain yang ia pikir ternyata lebih baik darinya. Sebuah kehidupan dipenuhi dengan dot - titik-titik abstrak yang bukan berarti tanpa arti dan tanpa tujuan. Bukanlah seperti debu yang tertiup karena angin - yang akan diam kemanapun ia meniupkan dirinya. Semua jelas arahnya, semua jelas alurnya. Hanya saja mereka-mereka yang sering berputus asa - meyerah - akan berpikir menjadi debu yang setiap saatnya bisa tertiup angin itu lebih baik daripada menjadi seonggok daging yang memiliki nama - tempat dimana asalnya terjadi kesalahan, kekeliruan, kekhilafan, yang diciptakan paling sempurna dengan karunia hati & perasaan, akal & pikiran. Mereka berpikir singkat - sesingkat ketika ada sebuah gunting hendak memotong karet gelang. Inilah deskripsi sebuah pengharapan. Ketika harapan di ibaratkan dengan sebuah karet gelang dan gunting ialah media sebagai kegagalan maka ada yang namanya kebangkitan ( tumbuh kembali rasa semangat berusaha ). Terputusnya karet gelang tersebut bukan berarti habis masalah. Hanya sebuah judul kendala yakni PUTUS! Orang yang mau mensyukuri setiap napas dalam hidupnya akan berpikir bahwa terputusnya karet gelang oleh gunting itu adalah awal dari sebuah langkah untuk menuju tujuan yang di inginkan. Kita bisa menyambung karet gelang tersebut dengan mengikatkan kedua ujung yang terputus, atau melilitkan isolasi untuk menempelkan kedua ujung yang terputus, atau bisa juga dengan membubuhkan karet gelang yang maish utuh untuk menyatukan kedua ujung yang terputus itu. Simpel! Dengan segala macam solusi itulah gunanya otak dikala berpikir. Tidak ada masalah yang tanpa solusi ( Jalan Keluar )! Semua dot yang nampak hitam pekat takkan selamanya jauh dalam pandangan ketika kita mengharapkan warna lain didalamnya. Tuhan menganugerahkan manusia dengan hati dan akal bukan untuk pelengkap sebuah makhluk yang disebut manusia. Hati yang kecil ( entahlah sekecil apa ) bisa disinggahi oleh jutaan ekspresi perasaan. Sedih, bahagia, terharu, menderita, sakit, terjatuh, dan yang lainnya. Kapanpun, siapapun, dan dimanapun hati selalu hidup. Jika ada yang bilang "Hatiku telah mati rasa!" Percayalah itu hanya benar terdapat dalam lirik lagu.! Dan diberikannya pikiran tanpa ada perbedaan. Orang pintar, bodoh, kreatif, beruntung itu sama-sama dikaruniai sebuah otak olehNYA. Diberikan untuk berpikir! Bukan digunakan untuk melihat ataupun mendengar. Semua sudah digariskan, namun bukan berarti semua bisa dipasrahkan. Semua butuh usaha.!

Lalu dia bergerak - membelakangi cermin. Tersenyum lagi. Dan kini dia mulai melangkah, satu langkah, dua langkah, bahkan hingga langkah-langkah yang tak terhitung lagi ketukannya. Ia mengerti, dot-dot kehidupan memiliki sebuah arti. Didalamnya terdapat rahasia yang kita akan tahu setelah menjamahnya. Bukan hanya membicarakannya, membayangkannya, membuat pernyataan dan pertanyaan yang belum tentu kita temukan ketika kita mulai melangkah memasukinya.

Dia kini sedang tersenyum manis di depan sebuah monitor yang lebih dari delapan jam bertengger di atas meja kerjanya. Dia mengerti seberapa besar keinginannya untuk menjadi seorang penulis. Dia memaklumi setiap tarikan magnetik dari jiwanya untuk terus membaca. Dan ketika dia berpikir, membaca bisa membuat dirinya lebih nyaman, dia akan meneruskannya esok hari, esok hari dan entah sampai kapan ia akan menyukai puluhan novel yang menjadi penghuni di kamarnya.

"ini gue, Ala :) iya cewek yang menyukai permen karet dan bersepeda. Cewek yang gemar membaca novel, mendengarkan musik apapun yang dia suka kecuali dangdut :D Cewek yang berzodiak Virgo..."

Salam dari gue :D #piss

Jumat, 03 Januari 2014

Cerita Senja

Mungkinkah aku berhalusinasi - ketika aku jelas memintanya untuk tidak pergi menghilang ~ mematikan ponselnya, menghentikan akses komunikasi diantara kami. Apakah benar aku sejahat itu - mengecewakannya untuk kesekian kalinya. Apakah memang aku tak memiliki hati, sehingga dia berpikir bahwa kepeduliaanku hanyalah sebatas teman. Apakah memang dia hanya sebatas sepotong hati. Hati yang berusaha tetap suci  dalam membiasakan perasaannya berbaur dengan ketulusannya. Entahlah,,,!!!

Kita sama-sama tidak mengetahui, kejelasan letak keegoisan kita. Aku yang bersikeras tak menyukai kecemburuannya, dan dia bersikukuh dengan anggapan cemburu ialah pertanda sayang. Manusia itu selalu mempunyai alasan untuk tersenyum disaat sepi. Jelas sudah ternyata bahwa cemburu itu pertanda sayang. :) Tidakkah pernah terpikir oleh akal sehat bahwa cemburu itu ibarat garam didalam larutan air kopi. Rasanya aneh tapi bikin ketawa. Bikin geleng-geleng kepala namun terkadang bisa juga menjadi satu-satunya alasan dua manusia mendadak terdiam tanpa bersua. Allah Maha Segalanya. Menciptakan segala kesempurnaan untuk setiap rasa. Dan aku pun tersenyum...

Ada yang tahu mengapa ketika kita menguap terkadang meneteskan airmata? Itu yang aku cari tahu dan ku jadikan sebuah alasan saat ini. Sejujurnya malaikat mungkin menatap iba padaku. Ketika mendengarkan lagu melankolis milik seorang penyanyi bersuara khas berhasil membuatku terenyuh. Oh My Allah, Kau bentuk hatiku sedemikian rupa, sehingga semua rasa pernah singgah disini. Kau menyadarkanku bahwa keegoisanku tak selamanya tumbuh meninggi, karena disekitarku masih ada yang lebih egois. Dan tahukah kamu, aku merindukan hujan yang dulu memayungi senja kita. Derasanya seakan membuka pintu perasaanku untuk bersahabat dengan masa lalu. Membiarkan kamu perlahan masuk memupuk kerinduan yang selama ini kau serahkan atas nama hatiku. Aku bahagia saat itu. Bahkan aku berhasil merasakaan derasnya hujan yang teramat damai. Tahukah kamu, bahwa aku butuh waktu yang panjang untuk bisa menjelaskan semua yang ku sembunyikan. Aku tak pandai berbicara empat mata denganmu. Aku selalu memilih menuliskannya dalam kanvas kehidupan yang dengan anggunnya masih tersembunyi diantara sela-sela kerinduan yang kini mulai hidup. Kekecewaan selama ini bukan sengaja ku ciptakan. Demi apapun hatiku tak pernah berniat tuk melukaimu. Jangan jadikan aku sebagai sebuah harapan terindahmu. Biarkanlah detik-detik kehidupan kita berjalan dengan sendirinya. Tanpa harus memaksa dan dipaksa. Tanpa harus pamit pergi atau lari. Pahit memang rasanya, tapi dengarkan aku. Tak ingin ada kata pacaran diantara kita. Karena aku tak ingin ada kata putus diantara kita juga. Mengertilah, mencoba membuka lebar-lebar logikamu. Jangan biarkan kesedihan itu menutup rapat pikiranmu. Kita jelas bisa bahagia dengan cara apapun. Ingatkah kamu, bahwa Allah menjanjikan pintu kebahagian lain ketika satu pintu kebahagiaan yang kita hadapi enggan terbuka. Jangan buat penyesalan yang tak pernah kita inginkan hadir. Jangan perlebar luka dengan dugaan sesaat. Dan jangan pergi sebelum kita tahu jawaban atas semua perjuangan kita. Tidak ada yang sia-sia. Selama ini kamu berhasil membuatku tersenyum. Berhasil membuatku merasa berharga. Terima kasih :)
 

THE WORDS Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos