Senin, 18 Agustus 2014

Dion

Langit malam itu teramat indah, Dion! Lihatlah, sehamparan warna biru pekat dihiasi dengan titik-titik putih terang disana! Bagaikan kanvas putih yang sengaja dipulas biru sedikit warna hitam dan kau bisa membuat titik-titik terang itu sesuka hatimu. Bebas dan lepas, Dion! Bayangkan jika kamu melukiskan kanvas kehidupanmu seperti itu. Mungkin kamu akan semakin sering membeli ribuan judul komik dari berbagai negara. Kamu itu selalu saja memilih komik daripada novel sepertiku. Aku akui sih komik memang lebih variatif karena disuguhi banyak gambar dalam setiap halaman tapi bagiku kurang puas untuk seorang kutu buku. Tulisannya amat sedikit, Dion! Hey, kalau kamu itu langit mungkinkah aku bulannya? Iya, bulan! Bukan sebagai bintang yang jumlahnya jutaan mungkin milyaran. Bulan yang ketika kamu lihat hanya ada satu dalam setiap malam. Mungkinkah itu, Dion? Aku menyukaimu ketika kamu bermandi keringat saat berlatih sepak bola. Aku yang setia menungguimu sampai sedikit tertidur di tribun sambil menggenggam kotak sandwich buatanku. Harusnya kamu memilih basket saja waktu itu. Aku seperti orang melawak ketika seorang diri menunggu pemain sepak bola. Aneh! Kebiasaanmu yang ku ingat - setiap kali kamu berhasil mencetak gol, kamu pasti berlari kearahku dan merentangkan kedua lenganmu seakan hendak memberika ruang untuk aku mendekap. Aku hanya membalasnya dengan juluran lidah dengan mata sedikit menyipit. Ah masa-masa itulah yang aku rindukan. Masa sepuluh tahun lalu. Ketika putih abu-abu teramat sempurna. Kamu akan selalu menungguku digerbang sekolah saat Ayah mengantarkanku dengan sepeda motornya. Setelah ayah berpesan untuk selalu menjagaku dan mengawasiku. Kita akan menyusuri koridor lantai satu menaiki loteng untuk menuju ruang kelas di lantai berikutnya. Sesekali kamu sengaja menggandeng bahuku dan membisikkan selamat pagi. Saat itulah siswa disekitar kita akan meneriaki namamu dan namaku. Kamu itu lucu sekali Dion - mampu menciptakan suasana yang begitu menyenangkan. Menghidupkan pagiku hingga malam menjelang sekalipun. Dion, aku merindukanmu. Merindukanmu entah sejak kapan.
Dion, ditahun pertama kita duduk dibangku SMA, aku sedikit gusar dengan kedekatan kita ini. Kamu pasti tahu istilah Cinta Pertama atau Cinta Monyet atau apalah itu istilah yang biasa mereka bilang sebuah ketertarikan akan lawan jenis saat masa sekolah. Aku sedikit kesal jika menanyakan adakah murid perempuan yang kamu sukai disekolah? Kamu akan menjawabnya dengan sebuah tawa teramat lepas dan menjewer hidungku sampai merah. Menyebalkan Dion sungguh menyebalkan! Aku akan berpura-pura ngambek agar kamu membujukku dengan tingkah konyolmu. Kamu akan mendekatkan posisi dudukmu - lebih dekat - di depanku. Menempelkan telunjuk kananmu dibawah daguku - mengarahkan pandanganku untuk menatap wajahmu - tanpa harus banyak bicara, aku akan tersenyum dan menyubit pinggangmu. Kau semakin tertawa lepas dihadapanku, bahkan kamu bisa menggoyangkan kepalamu seakan kamu sedang dance on the floor. Dasar Dion!
Ditahun kedua di bangku SMA, aku masih setia menunggumu selesai bermain bola seperti biasa tapi tidak dengan sekotak sandwich melainkan hanya sebuah handuk dan sebotol air mineral. Kala itu aku merasa kamu bosan dengan roti isi yang selama setahun lebih aku bawakan untukmu. Benar saja firasatku, kamu mengeluh padaku saat kamu mengantarku pulang. "Renata, aku bisa gemuk kalau makan sandwich darimu ditahun kedua, bisakah kamu menggantinya dengan sebotol air mineral dan sebuah komik?" Itu sih memang maumu, Dion! Aku hanya tersenyum tipis dan menggandeng lenganmu lebih erat dan tanpa harus dengar instruksiku kamu akan mengusap lembut rambutku dan berkata aku hanya bercanda Renata sayang. "Sayang katamu" Dion, aku hanya bisa menuliskan namamu setalah aku mengeja kata merindu di buku harianku. Entah sudah berapa judul puisi yang di dalamnya ada bayangmu.
Dion, terima kasih selama ini kamu menjadi sumber kebahagiaanku, sumber semangatku. Kamu membuatku merasa berarti dan dihormati. Tanpa harus memujiku, kamu mampu membuatku mengerti bahwa kita tidak butuh bertengkar hanya untuk membumbui persahabatan ini. Persahabatan yang perlahan menjadi cinta di waktu yang tepat.
 

THE WORDS Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos