Senin, 04 Agustus 2014

Gejala Menyebalkan

Aku keseringan membisu dalam diam. Hingga semuanya memupuk dalam benak tanpa terungkap. Disinilah aku berbicara - menuliskan apa yang selama ini aku simpan. Membeberkan setiap sayatan perih yang terasa pedih. Serta menunggu obat yang benar-benar bisa menyembuhkannya.

Semua anak yang terlahir ke dunia ini, baik. Jika terdengar berita tentang anak haram - anak yang tidak diinginkan terlahir - anak yang terlahir tanpa orang tua yang lengkap atau anak yang terlahir karena pernikahan yang tidak direstui oleh salah satu pihak. Buku apa yang harus aku baca untuk bisa memahami semua seluk beluk tentang sebuah pernikahan lantas berkeluarga. Aku memilih membaca buku yang aku sukai, menggemari membaca novel hanya untuk mengalihkan segala pertanyaan aneh yang terlintas begitu saja. Andaikan mereka memberikan aku waktu dengan ketenangan mereka, mungkin aku bisa mengutarakan apa yang hendak ingin aku tanyakan. Selalu saja amarah dan keegoisan, selalu saja air mata yang mengakhiri segalanya. Jika wanita ditakdirkan dengan air mata yang takkan pernah mengering, haruskah mereka selalu meneteskannya walau sekedar untuk menenangkan jiwanya. Jiwa yang terguncang karena hal yang sama sekali mereka tidak inginkan terjadi.

Kejadian pagi ini membuat aku mengulang beberapa bulan lalu ketika ...
"Kenapa nggak dari dulu gue digugurin aja kalo gue tahu hidup gue seperti ini.."
Kalimat itu yang terus terulang dalam ingatan. Aku terkejut, sangat terkejut. Kau anak laki-laki yang harusnya lebih tegar dan mengerti akan banyak hal daripada diriku. Kau yang harusnya lebih bisa melindungi kami bahkan membalut setiap luka pada masa lalu kami. Ternyata takdir berkata lain, DIA melahirkanmu dan membuatmu menjadi keras kepala dan egois hingga detik ini kamu masih suka menyakiti kami dengan ucapanmu. Ibu sangat tersiksa selama ini, memendam apa yang sebenarnya sudah ingin dia lepaskan. Mengunci apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Hanya menangis serta mengelus dada. Kamu begitu tega mengungkapkan masa lalu kelam ibu didepannya. Seakan kamulah yang paling benar. Seakan kamulah korban dari masalalu ibu. Tidakkah kau pernah bertanya dalam diammu apa yang ibu rasakan setelah kamu menyakitinya dengan mencecarnya dengan amarahmu? Kau punya hati sama seperti kami - hati yang akan merasakan sakit jika anggota tubuh terluka. Tapi kenapa kamu setega itu? Membiarkan kami hidup dalam ketakutan setiap harinya. Membuat kami selalu sibuk untuk bisa mengalihkan pikiran negatif tentang kamu. Kamu itu anak laki-laki ibu satu-satunya. Ibu yang berharap sekali kamu bisa menjadi pengganti ayah - melindungi kami. Kian hari harapan ibu terkikis bahkan hingga kini ibu seakan menyerah. Bukan pasrah, aku yakin. Karena ibu masih selalu mengutamakanmu - lebih menomer satukan kamu dibanding aku. Kamu seakan tidak mengenal rasa terima kasih dan bersyukur. Padahal ketika kita sama-sama dalam masa anak-anak, kita pergi mengaji bersama-sama. Kenapa sekarang seakan kau tidak mengenal apa itu budi pekerti.

Aku pernah mengeluh pada ibu karena sikapmu. Ibu terus membelamu. Menyuruhku untuk terus mengalah bahkan mengikuti jalan ibu dengan menelan bulat-bulat pahit yang kamu berikan. Ibu teramat menginginkanmu hidup dan tumbuh dengan sempurna - tanpa kekurangan hal apapun. Ibu bekerja keras untuk kita. Hingga kita bisa bersekolah dengan layak serta merasakan apa yang anak lain belum tentu bisa merasakannya. Apakah kamu melupakan semua kebaikan ibu? Semua kebaikan yang ia lakukan karena ibu merasa itu semua kewajibannya. Ibu menyayangi kita tapi kamu tidak. Itulah kenyataan terpahit yang harus ibu terima.

Kamu melukai aku, entah ini pagi keberapa yang aku lalui dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mendadak menjadi pendiam ketika sedang berada ditengah-tengah rekan kerjaku. Mencoba mengalihkan mata yang terasa perih. Kau mengirimkan ku banyak pesan singkat. Yang isinya semua menyakitkan. Sungguh, aku malas membacanya. Aku ini bukan bonekamu. Letih aku mengikuti segala maumu hanya untuk menjeda perlakuan kasarmu pada aku dan ibu. Menjeda, teramat sakit memang. Aku rela menjadi pesuruhmu hanya untuk menjeda rasa sakit yang ada.

Aku dan ibu mencoba berbicara pada DIA untuk menolong kami terlepas dari semua yang menyakitkan. Ibu bilang DIA menyukai kami yang sabar dan bisa mengontrol emosi. Aku pernah menangis didepan ibu dan berkata "aku letih mengikuti maunya, letih melihatmu tersakiti, aku letih mendengarmu mengeluh tentang dia yang membencimu." Lantas ibu bilang "maafkan ibu karena gagal jadi orang tua yang baik untuk kalian." Kamu merasakan apa jika mendengar kalimat maaf dari ibu? Kamu itu.. ahh, rasanya sebutan kasar untukmu sudah aku coba hentikan sejak dulu.

Aku ingin kamu berhenti melukai kami.
Berhenti untuk terus mendikte setiap keinginanmu yang kami tidak bisa penuhi.
Kamu jahat sekali!
 

THE WORDS Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos