Selamat sore Jakarta - Ibu kota negara tropis, eh salah Ibu kota negara Indonesia. Langit siangmu terasa teramat membakar tubuh siapa saja yang berada dibawah sinar mentari. Bahkan hingga sore menjelang, tepat pukul 15.00 WIB masih jelas ku lihat bias warna orange sebagai pencitraan sinar mentari yang dua jam tadi membuatku memejamkan mata didepan pendingin ruangan. "Panas!" keluhku.
Ada yang ingin aku tuliskan, sebuah pengaduan besar. Yang aku pikir tak ada lagi alasan untuk aku memendamnya. Tapi, aku dilanda kebimbangan. "Apakah benar aku harus menuliskannya atau hanya membisikkan pada udara bahwa aku teramat ingin bebas dari segala ketidaknyamanan ini?". Ini hal yang aku tak suka. Apa yang aku tuliskan dimanapun seakan selalu menyimpan makna dalam setiap kalimatnya. Dan beberapa pihak yang mengenalku dan membaca tulisanku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri hanya bisa menyikapinya dengan sebuah senyuman. Aku tahu mereka peduli, aku tak mengartikan pertanyaan-pertanyaan mereka sebagai bukti tindakan *kepo*. Tapi tolong, sedikit untuk bisa memberiku setapak demi setapak agar aku berpikir tidak lebih berat dari ini. Dan aku perlahan semakin melemah - merasakan sayap-sayap semuNYA perlahan menipis lantas memudar, ketika terdengar dalam inderaku tentang sebuah penilaian atas kekecewaan. Dengarlah, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Termasuk aku! Aku yang terkadang memilih diam dan hanya menuliskan semua keluhan disini, memaparkan apa yang terlintas dalam benak disini. Bukan seperti mereka yang mungkin lebih memilih menjadikan aku sebagai pelarian atau bahkan sebuah bantalan untuk kekacauan yanga da. Dengarkan aku, aku sama seperti mereka. Hati kecil yang bersembunyi diantara rongga dada dan terhimpit jantung yang akan aku bisa pastikan degupannya terasa lebih kuat ketika mereka menyambuk hebat ruang terdalam perasaanku. Aku tak bisa melawan dengan perlakuan yang sama. Aku hanya berusaha terdiam menahan emosi atas rasa sakit yang ada, dan membiarkan semua terekam oleh memori dikepala yang suatu saat akan terputar kembali di masa depan tanpa bisa aku cegah.
Dear diary,
Aku lebih puas berteriak disini - tak bersuara hanya jemariku yang menari kesana-kemari secara bebas tanpa peduli dirimu akan berekspresi seperti apa ketika aku mulai mengeluh di bait pertama. Lain dengan manusia, dia mendengar dia mengamati gerak bola mataku saat mengeluh dan dia berbicara ketika dia pikir aku selesai mengutarakan keluhanku. Dan aku tak mahir menahan tangisan yang keluar setiap kali kaset rekaman dalam otak terputar kembali - mereview kejadian buruk yang membuatku muak.
Diary, yang aku amati dari orang dewasa ialah mereka dengan segambreng keegoisan yang mereka nggak pernah mau akui. Orang dewasa yang menilai dirinya selalu pada pemikiran dan tindakan yang benar. Orang dewasa yang merasa butuh sandaran ketika orang dewasa lain disekitar mereka berusaha mengacaukan kehidupannya. Orang dewasa yang akan banyak mendoktrin orang yang usianya lebih muda dibawahnya dengan segala amarahnya. Mereka enggan dinilai keras kepala, akan marah jika dibilang selalu merasa yang paling benar. Serumit itukah isi kepala mereka? Tidak, dengarkan aku! Aku kini bukan lagi anak perempuan berkepang dua yang memakai seragam putih biru dan bergenggamkan buku-buku panduan bimbel hanya untuk mencetak nilai bertinta hitam diatas angka 8 disetiap halaman buku lapor. Aku mungkin 5 tahun diatas masa itu. Aku yang kini sedikit memahami perasaan wanita lainnya seperti apa dan aku bisa menerka tindakan apa yang akan dilakukan seorang pria ketika ia cemburu. Come on! Aku sudah menjadi orang dewasa. Aku dewasa karena aku berhasil mendirikan bendera kekalahan demi berhentinya sebuah peperangan dalam kehidupan. Aku dewasa karena aku bisa belajar untuk peduli pada orang lain tidak hanya pada diriku sendiri. Aku dewasa karena telah merasakan jutaan efek dari setiap lekuk kehidupan. Aku dewasa karena kalian. Kalian yang mengatasnamakan dewasa pada diri kalian.
Diary, Jangan bilang aku selalu bersembunyi disini. Pada siapapun termasuk mama! Kau harus berjanji, ini hanya aku, kamu dan Tuhan yang mengetahuinya. Bagiku, Mama atau mereka tak perlu mengetahui secara pasti tentang perasaanku dan tentang keadaan psikisku. Aku masih berada dalam kesadaran yang benar. Bahkan aku masih mencintai kehidupanku dan aku tak akan memilih untuk mengakhiri kehidupan ini hanya karena sebuah kerumitan yang ada. Cukup doakan aku untuk bisa jadi pribadi yang bisa bersabar dan ikhlas. Dua kata itu cukup mengandung banyak arti dalam kehidupan ini.