Gue yang sedaritadi menghabiskan jam kerja dengan mendengarkan lagu dari myspace mengamati kondisi langit dari jendela didepan ruangan gue -- *gelap. Dan gue bisa pastiin seketika itupula butiran air memang jatuh dari atas permukaan bumi -- *langit. Gue berpikir, apa yang bisa gue jabarkan dari kata *hujan* itu sendiri selain puluhan baris kalimat yang gue coba tuliskan dan nggak tau apakah memang pantas untuk disebut sebuah tulisan. Gue mau coba nulis cerita pendek tentang hujan. Let's check it!
***
"Biar ayah carikan taksi untuk ibu dan anak-anak, biar lebih cepat tiba dirumah dan tidak kebasahan." ucap seorang bapak sambil menyeka matanya yang terguyur air hujan.
"Lalu ayah bagaimana?" tanya seorang wanita berkerudung yang tetap memeluk erat kepala sang anak.
"Ayah tidak apa-apa, sudah kepalang basah biar nanti ayah pulang setelah hujan reda. Yang penting ibu dan anak-anak tidak kemalaman dijalan." ucapnya sambil menerobos hujan ke tepian trotoar untuk meyetop taksi.
Setelah mendapatkan taksi yang dimaksud, sang ayah kembali ketempat berteduhnya ibu dan anak-anaknya. Seketika ia mengamati sekitar 'tidak ada yang menegakkan payung' pikirnya. Sepertinya ia bermaksud meminjam payung siapapun yang ada disekitarnya untuk ia gunakan sebagai pelindung agar istri dan kedua anaknya tidak kehujanan ketika menuju taksi. Tanpa berpikir lama, ia melepas jaket berbahan anti air yang ia kenakan untuk melindungi pakaian sang istri agar tidak kebasahan. Lantas melepas helm untuk menutupi kepala istrinya lalu mengarahkan langkah mereka berdua dengan setengah berlari. Kemudian ia kembali dengan jaket dan helm tersebut untuk melindungi tubuh kedua anaknya. Setelah taksi pergi, ia bermaksud meneduh di halte yang sesak dengan orang-orang yang berlindung dari hujan. Semua sudah terlanjur basah pikirnya. Ia hanya terus menyeka matanya sambil berkata "lindungi istri dan anak-anakku ya Allah, selamat sampai di rumah." Tak lama ku perhatikan gerak tubuhnya. Ia memutuskan untuk mengenakan kembali helm dan jaketnya yang mungkin ikutan basah seperti ribuan helai rambutnya yang tak begitu pendek. Merogoh saku di jaket untuk mengambil kunci motor dan mulai menstarter motornya. Dengan perlahan ia tak lagi berdiri didepan trotoar.
Setibanya aku di rumah, terlintas kembali kejadian itu. Sembari menikmati secangkir kopi yang ku pikir bisa menghangatkan tubuhku yang diserang hujan tadi. Ya Allah sungguh besar rasa cinta bapak tadi kepada istri dan kedua anaknya, dia rela berperang dengan derasnya hujan demi keluarganya. Apakah papa akan bersikap seperti itu jika aku dan mama terjebak dalam situasi yang sama? Aku bertanya nanar - senyum tipis dengan tatapan tak percaya.
"Papa nggak mungkin bisa berjiwa besar seperti bapak itu." aku mendesah pasrah.
***
"Kamu nggak diomelin pamanmu kalo nemenin kita main kasti disini, Put?" Bisik Arga ketika ia berusaha menyamakan langkah kakiku.
"Paman pasti marah, namun aku sudah kepalang basah, Ga. Kapan lagi bersenang-senang ketika hujan mengguyur seluruh permukaan lapangan ini?" Ucapku sambil berlari ke tengah lapangan.
"Put, tunggu aku!!!" Teriak Arga yang berlari mengejarku.
Lihatlah kami - 5 Sekawan. Arga - anak laki-laki mahir matematika dan paling nggak suka sama cicak. Doni - si pemalas! Yang hobinya jajan di kantin sekolah. Ivan - si telat mikir yang paling tinggi rasa solidaritasnya. Juna - anak mami yang nggak bisa kalo ngggak sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan aku Putri (baca : tanpa deskripsi).
"Ga, kalo kamu bisa ngalahin mereka bertiga bareng aku dan kita bisa seneng-seneng disini, semua itu cukup bisa membayar segala hukuman dari paman kalo dia tau aku sengaja hujan-hujanan." jawabku.
Aku nggak pernah sebahagia ini - bertahun-tahun bersahabat dengan mereka terkadang membuatku bosan ketika bermain kasti di lapangan yang rumputnya kering tak terjamah hujan. Berhubung kami berlima, aku dan Arga satu tim melawan Doni, Ivan dan Juna. Dua lawan tiga! Aku dan Arga memang bisa dibilang lebih hyperactive dibandingkan dengan tiga orang kawan kami itu. Kami berdua yang akan berlomba lebih cepat siapa untuk menjawab pertanyaan dari guru ketika di dalam kelas. Kami berdua yang akan sukarela membantu staff perpustakaan jika sedang merapikan buku-buku baru yang dikirim dari pemerintahan pendidikan. Dan kami berdua yang memiliki kegemaran yang sama *menuliskan kalimat pendek disetiap halaman buku tulis dibagian paling bawah*.
"Yeeee.. kita menang!" teriakku pada Arga yang berhasil mengelabui Juna ketika meraih sudut terakhir.
"Ah, selalu kalah! Mau kering atau basah ini lapangan Putri sama Arga emang jago kalo masalah main kasti. Iya nggak, Don?" tanya Juna kesal pada Doni yang berjalan beriringan.
"Udah kalian ini terima aja kalo kita berdua itu jauh diatas kekuatan tiga orang untuk permainan kasti mini ini?" jawab Arga merangkul bahuku.
Seketika aku hanya bisa bergeming - berjalan penuh keringat bercampur butiran *hujan* yang belum mereda. Aku sejenak menatap dahinya lantas hanya bisa tersenyum tipis tanpa menjawab sepatah katapun untuk merespons rangkulan itu.
Di teras depan rumah,
"Put, makasih kamu masih setia sama kita berempat." ucapnya ketika mengantarkanku pulang.
"Kalian sahabatku, kalian sumber kebahagiaanku. Sampai besok di sekolah." jawabku singkat.
Arga tahukah kamu, ada hal lain yang menyadarkanku tentang persahabatan ini. Rangkulan tadi di lapangan seakan enggan jika hanya ku anggap sebagai rangkulan persahabatan. Inikah yang paman bilang tentang *cinta*. Sedini inikah aku merasakannya? Arga, aku tak mengetahui ini apa, rasanya seperti ingin menghentikan waktu ketika kita sedang tertawa bahagia bersama. Seakan aku tak pernah ingin membayangkan untuk kehilanganmu. Seakan aku ingin memilikimu kini dan selamanya. Tapi, persahabatanlah yang menguatkan aku untuk tetap disini. Membenamkan setiap rindu untuk ibu dan ayah yang telah pergi menuju surga, meninggalkan aku dengan paman yang baik hati dan selalu menyayangiku. Arga, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan? Apakah kamu memiliki ketakutan yang sama? *Takut kehilangan*.
"Ga, kalo kamu bisa ngalahin mereka bertiga bareng aku dan kita bisa seneng-seneng disini, semua itu cukup bisa membayar segala hukuman dari paman kalo dia tau aku sengaja hujan-hujanan." jawabku.
Aku nggak pernah sebahagia ini - bertahun-tahun bersahabat dengan mereka terkadang membuatku bosan ketika bermain kasti di lapangan yang rumputnya kering tak terjamah hujan. Berhubung kami berlima, aku dan Arga satu tim melawan Doni, Ivan dan Juna. Dua lawan tiga! Aku dan Arga memang bisa dibilang lebih hyperactive dibandingkan dengan tiga orang kawan kami itu. Kami berdua yang akan berlomba lebih cepat siapa untuk menjawab pertanyaan dari guru ketika di dalam kelas. Kami berdua yang akan sukarela membantu staff perpustakaan jika sedang merapikan buku-buku baru yang dikirim dari pemerintahan pendidikan. Dan kami berdua yang memiliki kegemaran yang sama *menuliskan kalimat pendek disetiap halaman buku tulis dibagian paling bawah*.
"Yeeee.. kita menang!" teriakku pada Arga yang berhasil mengelabui Juna ketika meraih sudut terakhir.
"Ah, selalu kalah! Mau kering atau basah ini lapangan Putri sama Arga emang jago kalo masalah main kasti. Iya nggak, Don?" tanya Juna kesal pada Doni yang berjalan beriringan.
"Udah kalian ini terima aja kalo kita berdua itu jauh diatas kekuatan tiga orang untuk permainan kasti mini ini?" jawab Arga merangkul bahuku.
Seketika aku hanya bisa bergeming - berjalan penuh keringat bercampur butiran *hujan* yang belum mereda. Aku sejenak menatap dahinya lantas hanya bisa tersenyum tipis tanpa menjawab sepatah katapun untuk merespons rangkulan itu.
Di teras depan rumah,
"Put, makasih kamu masih setia sama kita berempat." ucapnya ketika mengantarkanku pulang.
"Kalian sahabatku, kalian sumber kebahagiaanku. Sampai besok di sekolah." jawabku singkat.
Arga tahukah kamu, ada hal lain yang menyadarkanku tentang persahabatan ini. Rangkulan tadi di lapangan seakan enggan jika hanya ku anggap sebagai rangkulan persahabatan. Inikah yang paman bilang tentang *cinta*. Sedini inikah aku merasakannya? Arga, aku tak mengetahui ini apa, rasanya seperti ingin menghentikan waktu ketika kita sedang tertawa bahagia bersama. Seakan aku tak pernah ingin membayangkan untuk kehilanganmu. Seakan aku ingin memilikimu kini dan selamanya. Tapi, persahabatanlah yang menguatkan aku untuk tetap disini. Membenamkan setiap rindu untuk ibu dan ayah yang telah pergi menuju surga, meninggalkan aku dengan paman yang baik hati dan selalu menyayangiku. Arga, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan? Apakah kamu memiliki ketakutan yang sama? *Takut kehilangan*.