Untuk Renata yang aku rindukan,
Apa kabarmu disana?
Sedang apa dirimu saat membaca suratku ini?
Apakah kau merindukanku?
Ahh, Renata! Kita sama-sama tahu bahwa aku tidaklah pandai berbasa-basi pada siapapun. Kalimat sapaan yang buruk untuk mengawali percakapanku disini. Lupakan! Anggap saja itu sebuah lelucon untuk memancing tawamu yang sedang aku rindukan.
Renata,
Aku merindukanmu! Merindukanmu pada dua puluh empat jam setiap hari dalam hidupku. Merindukanmu semenjak perpisahan itu. Merindukanmu ketika aku menyaksikan kereta api membawa langkah kakimu pergi menjauh meninggalkan aku - meninggalkan kenangan yang kita lalui bersama.
Renata,
Aku merindukamu! Rasanya ini bukan rindu yang biasa hadir ketika petang memisahkan tatapan mata kita. Ini rindu yang baru aku sadari bahwa di dalamnya ada rasa kehilangan yang mendalam. Kerinduan yang perlahan mulai membuatku gila - terus memikirkanmu, bertanya sedang apakah dirimu, menatap foto kita yang sedang tertawa di tepi danau.
Renata,
Aku merindukamu! Maafkan aku untuk kerinduan yang terlalu berlebihan. Maafkan untuk aku yang mungkin mengingkari persahabatan ini. Maafkan aku yang mulai merasakan bahwa cinta itu hadir diantara kita - cinta itu tumbuh disetiap hari-hari persahabatan kita. Cinta yang tidak bisa ku cegah ketika dia terus tumbuh dan hidup di dalam hatiku.
Renata,
Ku beranikan menulis surat kedua setelah surat pertama yang ku tulis sepuluh tahun lalu - disaat pertama setelah kita saling berjanji untuk menjadi sepasang sahabat sejati yang akan terus berdua sepanjang hari. Ketika kita saling mendikte keinginan kita berdua untuk persahabatan ini.
Renata, terlalu banyakkah aku berbicara disini? Entahlah, rasanya sudah berabad-abad aku terpisah jarak denganmu. Perpisahan itu membuatku menjadi lebih cerewet dibandingkan dirimu. Membuatku banyak menuliskan apapun yang dihantarkan perasaanku ke pikiranku. Membuatku terus mengeja kata merindu untuk Renata.
Renata,
Tidak harus kau balas surat ini. Setidaknya aku berhasil untuk mengakui semuanya - tentang perasaan yang terlalu kuat untuk bisa aku hapuskan, tentang senyuman yang selalu aku rindukan ketika pagi bersambut, tentang sesosok gadis tercantik yang hidup di dalam kehidupanku, tentang seorang Renata yang menemaniku lebih dari sepuluh tahun dan berhasil mengajari aku banyak hal dan tentang kamu yang menjadi alasan untuk aku terus berbuat baik demi menjadi apa yang kamu inginkan.
Renata,
Tidak ku paksakan untuk kau membalas kerinduanku - aku merelakan kerinduan ini untuk hidup bersama kenangan kita. Meski mungkin disana kerinduanmu untukku tidak sedalam kerinduan yang ku punya untukmu. Aku yang terus membuatnya tumbuh subur, hingga kini perlahan ia seakan sungkan untuk pergi dari relung hatiku ini.
Renata,
Ku sudahi surat kedua ini. Tahukah kamu, dihadapanku ada banyak kertas yang ku remas hanya untuk membuat sapaan untuk mengawali surat ini. Mungkinkah ini surat cinta? Aku tersenyum sendiri ketika ku putuskan di kertas kedelapan ini untuk melanjutkan kalimat pertama yang aku tulis disini. Bisakah hal itu membuatmu menertawakanku?
Renata,
Akupun menyempatkan menulis puisi pendek untukmu. Maaf jika buruk saat kau baca, nilai bahasa sastra ku jauh dibawah nilaimu. Bacalah!
"Untukmu Renata,
Sejauh apapun kau pergi meninggalkanku
Selama apapun jejak kakimu menjauhiku
Kerinduan ini selalu atas nama dirimu
Renata Prameswari
Dari Dion Adiswara"