"Hatinya terbentuk dari apa, sampai hati dia tega melukai perasaan kita lebih dalam setiap harinya. Apakah ia tak ingat akan balasan atas perbuatannya, melukai kita dengan ucapan dan tindakan pasti akanlah pedih jika suatu saat Allah turunkan balasannya.."
Sejenak ibu hanya terdiam. Terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hanya tetes air mata yang bisa aku saksikan jelas sore itu. Ibu mengajak aku mengobrol. Letih memang gurat wajah ibu kala itu. Seperti telah berjalan kaki tanpa ada setetes air yang membasahi tenggorokannya. Ibu memulai bercerita, tentang keluhan yang ada di hatinya. Aku amat mengenal ibu. Ibu yang selalu tangguh atas apapun kesedihan yang menerpa kokoh tubuhnya. Namun kali ini aku bisa merasakan kerapuhan kepingan hati ibu. Keluhan demi keluhan tersampaikan, tangispun pecah hingga ku sodorkan box tissue untuk menjeda ucapannya. Ibu ketahuilah, saat itu aku tak kuasa untuk menyaksikan air matamu. Tak sanggup tuk terus mendengarkan keluhan hati dan perasaanmu. Ku coba terus menunggu hingga kau menghentikan ceritamu. Berbalik aku yang diam. Diam dengan terpecahnya pikiran. Tak henti-hentinya aku beristigfar dalam hati. Untuk setiap tetes air matamu yang tak sedikitpun aku mengikhlaskan hatimu terlukai olehnya. Namun, aku sendiri tak tahu jalan keluar untuk ini, hanya sabarlah yang mungkin bisa sedikit mengalihkan rasa sakit yang ada.
Mengapa kau tumbuh menjadi si pembangkang? Seharusnya kau bisa menjadi harapan terbesar ibu untuk masa tuanya. Namun, kau patahkan semua harapan ibu dengan melukai perasaan ibu juga perasaanku. Kau amat sangat membenci wanita yang menangis. Kau bilang itu cengeng! Kau bilang tak berguna! Tapi kau tak pernah menyadari bahwa setiap tangis kami adalah karna kau. Tak sedikitpun kau bisa berpikiran positif terhadap kami. Kau termakan ego. Dan kau tak menyadari bahwa keegoisanmu akan menjadi cambuk yang memecut tubuhmu bahkan bisa saja perlahan merusak anggota tubuhmu. Aku tak memintamu tuk mendengar setiap keluhan kami. Sedikit beri kami ruang untuk bisa mengajakmu menjadi lebih baik dari ini. Kami menyadarkanmu dari kelamnya masa lalu yang menjadi alasan kenapa kau menyimpan dendam. Seharusnya kau bisa memulai tuk bersahabat dengan masa lalu. Merubah setiap rasa kecewa perlahan menjadi mimpi yang tercapai. Seharusny kau tak sampai hati melukai kami. Seharusnya kau tidak selalu menuntut untuk kami terus mengertimu. Seharusnya kau tak seegois ini. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya aku bisa berani mengutarakan ini semua dihadapanmu. Namun aku memilih menuliskannya disini. Tanpa kau ketahui tulisan ini bertema tentang kau.
Allah mendengar nurani aku mengeja setiap kalimat disini. Yang kau bilang Allah nggak melihat tangisan ibu. Entah nama apa yang pantas untuk menjudgment perilaku kau itu. Habis kataku untuk tingkah kau yang semakin hari semakin membuatku muak. Kau tahu, berdosa besar karena kau buat ibu menangis sedih di setiap shalatnya. Ah, kau kemana saat ibu bersujud menitihkan air mata mengucap namamu untuk selalu dilindungi oleh Allah. Kau tertidur pulas dengan bertopang kaki, dasar kau b*d*h! Presiden saja tidur itu meram dengan kaki sejajar diatas kasur. Sombong sekali kau! Hampir saja aku membanting keyboard didepan monitor PC ini. Teramat banyak kekesalanku sore ini jika mengingat-ngingat sikap kau.
Ingin sekali aku membahagiakan ibu. Entah dengan cara apapun. Setidaknnya aku masih memiliki impian untuk tetap jadi anak yang baik untuk ibu, tidak menjadi si pembangkang tak tahu diri sepertimu. Bukan aku berlaku seperti malaikat kecil tak bersayap. Bodoh saja jika aku terbius godaan setan untuk bersikap seperti kau. Ya Allah, tunjukkan kepada kami akan perubahan perangainya yang selama ini mengecewakan kami. Tolonglah kami! Jangan buat dia semakin hari semakin berdosa. Amin
"Ibu, tak usah kau teteskan lagi air matamu. Anakmu bukan hanya dia, ada aku yang masih bisa menjadi penyokong rapuh tubuhmu. Tak usah ibu banyak mengeluh dan memikirkan sikapny, tak kuasa aku melihatmu sakit. Biarlah semua ujian ini kita lalui bersama. Kau tak pernah sendiri, ada aku.. Aku yang senantiasa merindukanmu tanpa terucap kata rindu di hadapanmu..."
Part I