Ini bukan sajak, ataupun syair para pujangga penulis puisi-puisi cinta..
Maaf untuk sebongkah kerinduan yang masih tetap kokoh terjaga disini,
Untuk setangkai tulip ungu yang masih selalu jelas dalam ingatan,
Yang senantiasa masih selalu tersiram butir-butir kasih sayang,
Dan, aku tidak pernah tahu sampai kapan ini terus bersemayam,
Hidup dan terus tumbuh setiap kali aku berusaha untuk menggantikan dengan tangkai mawar ataupun lili,
Mungkinkah aku yang tidak mau berusaha menggerakan hatiku untuk merubah arah kemana perasaan ini berlabuh,
Tuhan tahu pasti tentang perasaanku. Ini jelas-jelas mengalir karena keputusanNYA. Aku yang terjebak dalam ingatan terindah sebuah rasa, dan aku yang sulit untuk merelakan kepergiannya. Bahkan aku sendiri telah membuka celah luka hati untuk orang yang berusaha mendekati dan mengalihkan perhatianku. Maafkan aku untuk dosa entah apa namanya aku belum tahu dan tak mau tahu.
Jam 12 Siang,
Sesakit inikah setelah perbincangan janggal antara aku dengan seorang sahabatku. Aku mengutuk diriku sendiri memang aku yang bersalah, Je me trompais.. Tapi bukan aku yang memilih untuk tercekik dalam situasi teramat genting untuk beberapa pasang telinga. Rasanya seperti sedang terlelap dalam mimpi buruk. Ketika terbangun semua menjadi nyata dan teramat menakutkan. (Aku melempar pikiran!)
Aku tak lagi bermimpi,
Aku memang merasakan kantuk menyergap tengguk lantas sepasang mataku, menghela napas merindukan bantal. Mungkin aku butuh istirahat sejenak, gumamku. Entah apa yang membuatku kesal pada hari ini. Mengingat satu persatu pernyataan yang ku dengar terasa begitu menyesakan. Itu bukan debu, yang harus ku hindari. Bukan pula bunga-bunga melati yang membius indera penciumanku - itu hanyalah sebuah kenyataan dimana aku sendiri mengumpat buruk adanya. Aku membenci kenyataan itu - kenyataan dimana ada pria yang menanti terbukanya hatiku untuknya. Tuhan, menyadarkan bahwa Galih telah pergi itu seperti harus memakan durian montong secara terus menerus (Jelas-jelas aku nggak pernah suka duren!) apalagi harus belajar membuka hati untuk hati yang lain. Disaat seperti ini bukan cinta dari hati yang lain yang aku inginkan. Melainkan sebuah kesepakatan antara seorang sahabat dengan sahabatnya. Aku tidak pernah memimpikan Sahabat menjadi Cinta. Aku berusaha untuk menghindari mantra itu sebaik mungkin.
Bagaimana bisa aku merubah tabiatku untuk menambah porsi lebih dalam persahabatan yang berubah menjadi teman berkencan? Seperti tertusuk paku berkarat rasanya.
Bangun, Jelas-jelas aku sedang tidak tertidur di sofa ataupun dilantai seperti kebiasaanku ketika melahap novel-novel bacaanku. Aku sedang berada di kantor yang sebulan terakhir ini terus memupuk kejenuhanku semakin menggunung. Tuhan, ini apa? atau apa ini? Semua kepala disini membuatku jengah dan seakan ingin berlari menerobos kerumunan mereka. (Tapi sejak kapan mereka berkerumun?) masalahnya memang hanya dua. Salary dan Fasilitas yang dijanjikan. Terus kapan kebeli sendiri Vespa Matic nya :| (Begini deh kalo setan Lupusnya kumat, berhubung nggak bisa make Vespa unmatic jadinya ngumpat pengin Vespa Matic supaya nggak capek jalan kaki :))
Buntu, Ngedipin mata berkali-kali tetap aja buntu. Nggak secanggih Om Darwis Tara Liye yang punya intisari diksi buat membius si pembaca dalam kalimat setiap halaman novelnya. Cuma bisa mantengin kursor yang berada di ujung kalimat - menggantung. Sampai akhirnya, ajakan untuk pulang kerumah lebih awal semakin membatin saat ini (pukul 01.50 p.m) "Pengin pulang :'( nggak mau disini lama-lama!" ngerengek layaknya anak baru masuk sekolah dasar. Lantas aku bisa apa dengan blog ini. Dengan diary electronic ini? Mematung? Melukis? Menyanyi? Rasanya ingin terus mereplay lagunya Stereomantic "You".
Galih mungkin tahu persis perasaanku, dan dia kebingungan sekaligus kesal mungkin teramat kesal padaku. Kebodohan itu menyadarkanku di waktu yang nggak tepat. Bahkan di waktu yang tidak sama sekali menguntungkanku. Ambil langkah berserah :) tapi bukan menyerah, tapi...
end - ngegantung!! :X