Selasa, 08 April 2014

HUJAN

Nggak perlu gue jelasin apa itu *hujan*. Beberapa orang bisa mendeskripsikan kata *hujan* dalam berbagai sudut pandang - dari pengamatan ilmu pengetahuan alam ataupun dari segi bahasa indonesia sendiri. *hujan* itu identik dengan air yang turun dari langit yang katanya awan dan anginlah dua mediator penyampainya. *hujan* ada sih sebagian orang menyimpulkan bahwa *hujan* adalah tangisan dari langit ( sadis :| "secengeng itukah langit sampai ia harus menangis disaat mukanya nampak gelap ). Dari fungsi atau kegunaan dari *hujan* itu sendiri bermacam-macam dan gue rasa nggak perlu gue jelasin!
Gue yang sedaritadi menghabiskan jam kerja dengan mendengarkan lagu dari myspace mengamati kondisi langit dari jendela didepan ruangan gue -- *gelap. Dan gue bisa pastiin seketika itupula butiran air memang jatuh dari atas permukaan bumi -- *langit. Gue berpikir, apa yang bisa gue jabarkan dari kata *hujan* itu sendiri selain puluhan baris kalimat yang gue coba tuliskan dan nggak tau apakah memang pantas untuk disebut sebuah tulisan. Gue mau coba nulis cerita pendek tentang hujan. Let's check it!

***

"Biar ayah carikan taksi untuk ibu dan anak-anak, biar lebih cepat tiba dirumah dan tidak kebasahan." ucap seorang bapak sambil menyeka matanya yang terguyur air hujan.
"Lalu ayah bagaimana?" tanya seorang wanita berkerudung yang tetap memeluk erat kepala sang anak.
"Ayah tidak apa-apa, sudah kepalang basah biar nanti ayah pulang setelah hujan reda. Yang penting ibu dan anak-anak tidak kemalaman dijalan." ucapnya sambil menerobos hujan ke tepian trotoar untuk meyetop taksi.
Setelah mendapatkan taksi yang dimaksud, sang ayah kembali ketempat berteduhnya ibu dan anak-anaknya. Seketika ia mengamati sekitar 'tidak ada yang menegakkan payung' pikirnya. Sepertinya ia bermaksud meminjam payung siapapun yang ada disekitarnya untuk ia gunakan sebagai pelindung agar istri dan kedua anaknya tidak kehujanan ketika menuju taksi. Tanpa berpikir lama, ia melepas jaket berbahan anti air yang ia kenakan untuk melindungi pakaian sang istri agar tidak kebasahan. Lantas melepas helm untuk menutupi kepala istrinya lalu mengarahkan langkah mereka berdua dengan setengah berlari. Kemudian ia kembali dengan jaket dan helm tersebut untuk melindungi tubuh kedua anaknya. Setelah taksi pergi, ia bermaksud meneduh di halte yang sesak dengan orang-orang yang berlindung dari hujan. Semua sudah terlanjur basah pikirnya. Ia hanya terus menyeka matanya sambil berkata "lindungi istri dan anak-anakku ya Allah, selamat sampai di rumah." Tak lama ku perhatikan gerak tubuhnya. Ia memutuskan untuk mengenakan kembali helm dan jaketnya yang mungkin ikutan basah seperti ribuan helai rambutnya yang tak begitu pendek. Merogoh saku di jaket untuk mengambil kunci motor dan mulai menstarter motornya. Dengan perlahan ia tak lagi berdiri didepan trotoar.
Setibanya aku di rumah, terlintas kembali kejadian itu. Sembari menikmati secangkir kopi yang ku pikir bisa menghangatkan tubuhku yang diserang hujan tadi. Ya Allah sungguh besar rasa cinta bapak tadi kepada istri dan kedua anaknya, dia rela berperang dengan derasnya hujan demi keluarganya. Apakah papa akan bersikap seperti itu jika aku dan mama terjebak dalam situasi yang sama? Aku bertanya nanar - senyum tipis dengan tatapan tak percaya.
"Papa nggak mungkin bisa berjiwa besar seperti bapak itu." aku mendesah pasrah.

***

"Kamu nggak diomelin pamanmu kalo nemenin kita main kasti disini, Put?" Bisik Arga ketika ia berusaha menyamakan langkah kakiku.
"Paman pasti marah, namun aku sudah kepalang basah, Ga. Kapan lagi bersenang-senang ketika hujan mengguyur seluruh permukaan lapangan ini?" Ucapku sambil berlari ke tengah lapangan.
"Put, tunggu aku!!!" Teriak Arga yang berlari mengejarku.
Lihatlah kami - 5 Sekawan. Arga - anak laki-laki mahir matematika dan paling nggak suka sama cicak. Doni - si pemalas! Yang hobinya jajan di kantin sekolah. Ivan - si telat mikir yang paling tinggi rasa solidaritasnya. Juna - anak mami yang nggak bisa kalo ngggak sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan aku Putri (baca : tanpa deskripsi).
"Ga, kalo kamu bisa ngalahin mereka bertiga bareng aku dan kita bisa seneng-seneng disini, semua itu cukup bisa membayar segala hukuman dari paman kalo dia tau aku sengaja hujan-hujanan." jawabku.
Aku nggak pernah sebahagia ini - bertahun-tahun bersahabat dengan mereka terkadang membuatku bosan ketika bermain kasti di lapangan yang rumputnya kering tak terjamah hujan. Berhubung kami berlima, aku dan Arga satu tim melawan Doni, Ivan dan Juna. Dua lawan tiga! Aku dan Arga memang bisa dibilang lebih hyperactive dibandingkan dengan tiga orang kawan kami itu. Kami berdua yang akan berlomba lebih cepat siapa untuk menjawab pertanyaan dari guru ketika di dalam kelas. Kami berdua yang akan sukarela membantu staff perpustakaan jika sedang merapikan buku-buku baru yang dikirim dari pemerintahan pendidikan. Dan kami berdua yang memiliki kegemaran yang sama *menuliskan kalimat pendek disetiap halaman buku tulis dibagian paling bawah*.
"Yeeee.. kita menang!" teriakku pada Arga yang berhasil mengelabui Juna ketika meraih sudut terakhir.
"Ah, selalu kalah! Mau kering atau basah ini lapangan Putri sama Arga emang jago kalo masalah main kasti. Iya nggak, Don?" tanya Juna kesal pada Doni yang berjalan beriringan.
"Udah kalian ini terima aja kalo kita berdua itu jauh diatas kekuatan tiga orang untuk permainan kasti mini ini?" jawab Arga merangkul bahuku.
Seketika aku hanya bisa bergeming - berjalan penuh keringat bercampur butiran *hujan* yang belum mereda. Aku sejenak menatap dahinya lantas hanya bisa tersenyum tipis tanpa menjawab sepatah katapun untuk merespons rangkulan itu.

Di teras depan rumah,
"Put, makasih kamu masih setia sama kita berempat." ucapnya ketika mengantarkanku pulang.
"Kalian sahabatku, kalian sumber kebahagiaanku. Sampai besok di sekolah." jawabku singkat.
Arga tahukah kamu, ada hal lain yang menyadarkanku tentang persahabatan ini. Rangkulan tadi di lapangan seakan enggan jika hanya ku anggap sebagai rangkulan persahabatan. Inikah yang paman bilang tentang *cinta*. Sedini inikah aku merasakannya? Arga, aku tak mengetahui ini apa, rasanya seperti ingin menghentikan waktu ketika kita sedang tertawa bahagia bersama. Seakan aku tak pernah ingin membayangkan untuk kehilanganmu. Seakan aku ingin memilikimu kini dan selamanya. Tapi, persahabatanlah yang menguatkan aku untuk tetap disini. Membenamkan setiap rindu untuk ibu dan ayah yang telah pergi menuju surga, meninggalkan aku dengan paman yang baik hati dan selalu menyayangiku. Arga, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan? Apakah kamu memiliki ketakutan yang sama? *Takut kehilangan*.

Kronologi Kehidupan

Selamat sore Jakarta - Ibu kota negara tropis, eh salah Ibu kota negara Indonesia. Langit siangmu terasa teramat membakar tubuh siapa saja yang berada dibawah sinar mentari. Bahkan hingga sore menjelang, tepat pukul 15.00 WIB masih jelas ku lihat bias warna orange sebagai pencitraan sinar mentari yang dua jam tadi membuatku memejamkan mata didepan pendingin ruangan. "Panas!" keluhku.

Ada yang ingin aku tuliskan, sebuah pengaduan besar. Yang aku pikir tak ada lagi alasan untuk aku memendamnya. Tapi, aku dilanda kebimbangan. "Apakah benar aku harus menuliskannya atau hanya membisikkan pada udara bahwa aku teramat ingin bebas dari segala ketidaknyamanan ini?". Ini hal yang aku tak suka. Apa yang aku tuliskan dimanapun seakan selalu menyimpan makna dalam setiap kalimatnya. Dan beberapa pihak yang mengenalku dan membaca tulisanku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri hanya bisa menyikapinya dengan sebuah senyuman. Aku tahu mereka peduli, aku tak mengartikan pertanyaan-pertanyaan mereka sebagai bukti tindakan *kepo*. Tapi tolong, sedikit untuk bisa memberiku setapak demi setapak agar aku berpikir tidak lebih berat dari ini. Dan aku perlahan semakin melemah - merasakan sayap-sayap semuNYA perlahan menipis lantas memudar, ketika terdengar dalam inderaku tentang sebuah penilaian atas kekecewaan. Dengarlah, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Termasuk aku! Aku yang terkadang memilih diam dan hanya menuliskan semua keluhan disini, memaparkan apa yang terlintas dalam benak disini. Bukan seperti mereka yang mungkin lebih memilih menjadikan aku sebagai pelarian atau bahkan sebuah bantalan untuk kekacauan yanga da. Dengarkan aku, aku sama seperti mereka. Hati kecil yang bersembunyi diantara rongga dada dan terhimpit jantung yang akan aku bisa pastikan degupannya terasa lebih kuat ketika mereka menyambuk hebat ruang terdalam perasaanku. Aku tak bisa melawan dengan perlakuan yang sama. Aku hanya berusaha terdiam menahan emosi atas rasa sakit yang ada, dan membiarkan semua terekam oleh memori dikepala yang suatu saat akan terputar kembali di masa depan tanpa bisa aku cegah.

Dear diary,
Aku lebih puas berteriak disini - tak bersuara hanya jemariku yang menari kesana-kemari secara bebas tanpa peduli dirimu akan berekspresi seperti apa ketika aku mulai mengeluh di bait pertama. Lain dengan manusia, dia mendengar dia mengamati gerak bola mataku saat mengeluh dan dia berbicara ketika dia pikir aku selesai mengutarakan keluhanku. Dan aku tak mahir menahan tangisan yang keluar setiap kali kaset rekaman dalam otak terputar kembali - mereview kejadian buruk yang membuatku muak.

Diary, yang aku amati dari orang dewasa ialah mereka dengan segambreng keegoisan yang mereka nggak pernah mau akui. Orang dewasa yang menilai dirinya selalu pada pemikiran dan tindakan yang benar. Orang dewasa yang merasa butuh sandaran ketika orang dewasa lain disekitar mereka berusaha mengacaukan kehidupannya. Orang dewasa yang akan banyak mendoktrin orang yang usianya lebih muda dibawahnya dengan segala amarahnya. Mereka enggan dinilai keras kepala, akan marah jika dibilang selalu merasa yang paling benar. Serumit itukah isi kepala mereka? Tidak, dengarkan aku! Aku kini bukan lagi anak perempuan berkepang dua yang memakai seragam putih biru dan bergenggamkan buku-buku panduan bimbel hanya untuk mencetak nilai bertinta hitam diatas angka 8 disetiap halaman buku lapor. Aku mungkin 5 tahun diatas masa itu. Aku yang kini sedikit memahami perasaan wanita lainnya seperti apa dan aku bisa menerka tindakan apa yang akan dilakukan seorang pria ketika ia cemburu. Come on! Aku sudah menjadi orang dewasa. Aku dewasa karena aku berhasil mendirikan bendera kekalahan demi berhentinya sebuah peperangan dalam kehidupan. Aku dewasa karena aku bisa belajar untuk peduli pada orang lain tidak hanya pada diriku sendiri. Aku dewasa karena telah merasakan jutaan efek dari setiap lekuk kehidupan. Aku dewasa karena kalian. Kalian yang mengatasnamakan dewasa pada diri kalian.

Diary, Jangan bilang aku selalu bersembunyi disini. Pada siapapun termasuk mama! Kau harus berjanji, ini hanya aku, kamu dan Tuhan yang mengetahuinya. Bagiku, Mama atau mereka tak perlu mengetahui secara pasti tentang perasaanku dan tentang keadaan psikisku. Aku masih berada dalam kesadaran yang benar. Bahkan aku masih mencintai kehidupanku dan aku tak akan memilih untuk mengakhiri kehidupan ini hanya karena sebuah kerumitan yang ada. Cukup doakan aku untuk bisa jadi pribadi yang bisa bersabar dan ikhlas. Dua kata itu cukup mengandung banyak arti dalam kehidupan ini.

Kamis, 03 April 2014

Rabbits!

Jakarta sore ini, 3 April 2014

Seperti biasa gue selalu menyuguhkan beberapa hal yang gue alami di kehidupan gue contohnya ...
"Selamet ye dik, si Wiku udeh jadi bokap sekarang! Si kelinci betina - Sonya udeh ngelahirin kemaren dua ekor anak cuma yang satu matinya nggak ketauan semoga yang satu lagi gue bisa rawat ye.."
Just Info, Wiku itu kelinci peliharaan gue yang dua tahun lalu gue beli bareng si Miky! Dia berjenis kelamin jantan, berbulu halus dan berwarna putih. Entah berapa bulan dia tinggal bareng keluarga gue di Jakarta. Yang gue inget gue bawa dia pindah ketika gue mudik lebaran dua tahun lalu, alasannya karena si Miky ternyata harus mengalami keracunan makanan yang mengakibatkan hidupnya harus berhenti hanya beberapa bulan saja. Dan si Sonya adalah kelinci dengan jenis kelamin betina kedua yang brother gue beli, sebelumnya ada yang namanya Felly dengan jenis kelamin betina juga. Felly mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga pada saat musim pancaroba maka kita harus ikhlas kalo Felly sudah tiada. Dan kabarnya si Sonya itu telah melahirkan dua ekor kelinci yang jenis kelaminnya belum kita ketahui, tapi sayang satu dari dua itu ternyata nggak bertahan lebih dari 3 hari. Ya apapun kejadiannya, satu atau dua keturunan yang Sonya hasilkan itu tetap anggota baru di keluarga Wiku.

Gue nggak tau sejak kapan gue suka kelinci. Yang gue inget, sejak gue SD kakak laki-laki gue pernah pelihara kelinci. Tapi semenjak gue melihat si Wiku diantara kelinci-kelinci lainnya yang ada di dalam kandang, gue merasa jatuh hati sama dia. Alhasil negosiasi harga gue ajukan dengan si penjual kelinci kala itu. Gue bawa si Wiku dengan harga yang cukup murah :)

Nggak cuma gue, semenjak hadirnya Wiku dikeluarga gue ternyata Papa, Mama, Abang dan ade gue amat antusias untuk melihara dia. Setiap harinya Mama selalu berusaha mau pergi ke pasar hanya untuk membeli sawi hijau atau wortel untuk asupan makanannya Wiku. Kadang sih Mama berkomentar karena uang belanjanya sering tekor karena Mama beli sawi hijau yang organik (Salah sendiri :p). Dan Papa, abang, ade dan gue akan sibuk gantiin lapisan koran sebagai alas tempat istirahatnya dia didalam kardus (Maklum waktu itu kita nggak sempet bikin rumah yang nyaman buat dia). Sampai akhirnya kita semua sibuk dan dengan berat hati Wiku di pindahkan ke Kota Kelahiran Mama. Disana Wiku dirawat sama Alm. Ua laki-laki, Ua Perempuan dan kedua sepupu gue yang cantik. Mereka menyimpulkan bahwa Wiku terlampau aktif hingga mereka terkadang kesulitan menemukannya. Oh iya, Wiku paling seneng kalo jilatin punggung kaki kita semua. Denger namanya dipanggil dia ngibrit nyamperin, kadang gue heran dia itu kelinci apa kucing sih koq bisa menjilat. Tapi sayang, gue nggak mengabadikan moment itu. Setelah meninggalnya Ua laki-laki, gue menitipkan Wiku pada kakak angkat gue. Dengan senang hati dia sekeluarga menerima kehadiran Wiku ditengah-tengah mereka. Gue bahagia, Wiku bisa menemukan keluarga baru yang mau merawat dia sepenuh hati.

Itu sedikit cerita gue soal kelinci :)
See next topic
 

THE WORDS Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos